Rabu, 14 September 2011

From Molluca with Love

Teman mudaku ini –Shanti- kehausan akan cinta. Dan itu membuat aku iri hati padanya. Pria baik hati yang bertutur kata sopan, membuatnya jatuh hati. Cinta segera berbunga begitu melihat wajah yang tampan. Namun kali yang lain, rayuan gombal dan tatapan mata sahdu seorang pria bisa membuatnya merasa itu cinta sejatinya.

Sungguh menyedihkan mengenang masa-masa aku semuda itu, jadinya. Sungguh sekejap berakhirnya masa-masa penuh gairah dan semangat untuk mengejar cinta seseorang. Aku bahkan telah menyia-nyiakannya. Aku hanya mencinta satu orang. Aku akan patah hati bila kehilangan. Akan tenggelam dalam kesedihan bila dikhianati. Masa mudaku sudah berlalu tanpa banyak cerita cinta. Sementara dalam kemudaannya, energi cinta yang dimiliki Shanti begitu bersinar. Begitu terbuka.
***

Shanti asyik membuka laptop dan menelusuri foto-foto indah perjalanan kami di Pulau Ternate, Halmahera, Ambon, dan Seram. Beberapa foto pria yang dibidiknya lebih menarik perhatiannya ketimbang panorama indah kepulauan Maluku dengan pantai-pantainya yang biru.

“Banyak pria tampan di Maluku....” kata Shanti. Penuh dengan gairah perempuan muda pencari cinta. “Mana yang lebih tampan, Zul atau Jose?” tanyanya.

Zul, pria yang merasa dirinya dan seluruh orang Maluku keturunan Bugis, berwajah kearab-araban. Sedangkan Jose, berwajah tampan eksotis, dengan wajah gelap khas etnis Alifuru. Dua profil yang mewakili dua kelompok yang hampir sama banyaknya di Maluku, orang Muslim dan orang Kristen.

“Keduanya tampan....” kataku.
”Betul, kan?” kata Shanti dengan ceria. “Mungkin aku akan tinggal di sini dan menikahi salah satunya.....” katanya. Selalu begitu. Jatuh cinta dengan cepat. Mengkhayalkan pangerannya. Kemudian besok lusa jatuh cinta lagi.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. :”Terserah kau lah, yang penting segera selesaikan laporan lapangannya. Aku mau semua selesai di sini. Tidak ada yang belum selesai saat kita pulang ke Jakarta.....”

“No problem, bunda!” katanya sambil menghempaskan badan di atas tempat tidur. Telentang dan mengkhayalkan pria tampan yang turun dari khayangan. Ah, menjengkelkan panggilannya itu padaku. Membuatku menjadi tua. Sementara dia menikmati kemudaan dan fantasi cintanya dengan gairah. Sungguh usia kepala empat yang tak siap kuhadapi. Dan anak centil 23 tahun yang sudah S-2 ini dengan semena-mena memanggilku bunda, sehingga aku menjadi setua ibunya.

“Kerjakan sekarang, Shanti....” kataku. “Sebentar lagi, bunda!” katanya sambil memejamkan mata. Di lantai kamar hotel tempat kami menginap, berserakan buku, dokumen, dan kertas-kertas. Laptop terbuka di atas lantai....
***

Keesokan harinya, kami melakukan perjalanan ke sebuah desa yang sangat indah. Pulau-pulau kecil mengambang di atas lautan biru. Terlihat dari tempat yang tinggi. Aku dan Shanti ditemani oleh tiga orang pemerintah yang usianya masih muda-muda, selama melakukan studi di lapangan. Dua orang pria dan satu perempuan.

Shanti sangat bersemangat. Jose ada di antara kelompok ini, menyopiri mobil yang membawa tim ke lapangan. Mendadak dia berpendapat bahwa Jose lebih tampan dibandingkan Zul. Juga lebih berwajah Maluku. Dalam anggapan kebanyakan orang Jawa, orang Maluku itu berkulit gelap. Padahal kenyataannya, separuhnya berwajah kearab-araban serupa Zul.

Keceriaan orang-orang muda yang ada di timku itu menyenangkan. Membuat aku merasa ikut bersemangat. Jadi, aku tidak keberatan bila Shanti dan Jose selalu berdekatan. Selama, tugas-tugas yang harus kami kerjakan bisa dilakukan. Pekerjaan itu menjadi lebih ringan dengan adanya bunga-bunga cinta yang memberi gairah.

Kami makan ikan bakar dan nasi kuning yang sangat enak di sebuah pasar lokal. Minum air kelapa. Duduk-duduk sebentar di tepi pantai yang menghadap Laut Banda.Samar-samar nampak Pulau Arafuru dan Saparua bersisian.

Hari sudah gelap ketika kami tiba di hotel tempat aku dan Shanti menginap. Sementara teman-teman muda yang mengantar kami ke lapangan itu kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka senang bisa mendampingi kerja kami, rupanya. Dengan penuh minat terlibat dalam pekerjaan studi yang kami lakukan dan juga membuat catatan-catatan sendiri.

Kami berpisah dan berjanji besok pagi untuk mengantar bertemu dengan beberapa orang yang akan kami wawancara. Dari Dinas dan DPRD.
***

Shanti berbaring telentang sambil memejamkan mata. Kemudian dia memperhatikan aku. Sambil menghela nafas panjang. “Capek?” tanyaku. “Kangen karena berpisah dengan calon pendamping hidupmu di Maluku? Kan besok ketemu lagi....”

Sambil merengut Shanti melemparku dengan buah pala yang dipungutnya saat di desa. “Sial. Dia menatapmu terus, bunda! Dia tidak pernah menatap aku....”

Aku menoleh padanya. Tersenyum. Membayangkan wajah Jose yang malu-malu memandangku. Sangat gembira ketika memegang tanganku saat kami berjalan di medan yang sulit, sementara Shanti harus bersusah payah berjalan sendiri karena tak mau dibantu oleh yang lainnya. Saat berjalan di sisi Shanti, wajahnya pun lebih banyak memperhatikanku. Menatap dan tersenyum. Entah apa artinya.

Shanti menutup wajahnya dengan bantal. Kecewa setengah mati karena mengharapkan mendapatkan momen cinta di saat berjalan di atas pasir di tepian pulau yang indah permai. “Bunda sudah terlalu tua buat dia....” katanya dari balik bantal.

Aku berbaring di sebelah Shanti. “Sial!” kataku.
“Sial kenapa?” Shanti membuka bantal penutup mukanya. “Sial, seandainya saja aku masih semuda kamu....” kataku. Shanti menjadi jengkel. “Tahu diri dong....” katanya.

Kami berdua berbaring bersisian. Lalu sama-sama ketiduran. Besok, Shanti akan menemukan cinta yang lain. Sayang sekali, Jose telah mematahkan harapannya.
***

Tidak ada komentar: