Senin, 10 Oktober 2011

Dua Anak Lelaki

Pria-pria dan para wanita menari Maena. Segala usia. Sebuah tarian kolektif yang menggabungkan seluruh kerabat dekat, jauh, sangat jauh, dalam sebuah harmoni tari dan nyanyi. Tidak membedakan status sosial ekonomi. Tidak membedakan kedudukan dalam adat. Suara bergemuruh karena menyanyi bersama. Hentakan kaki bersama.

Akhirnya pesta pernikahan berlangsung lancar setelah perdebatan sengit mengenai mas kawin (böwö) menyita semua energi. Semua bernafas lega.

Berkat Hala.

Pemimpin keluarga yang baru telah lahir. Menggantikan Bapak yang sudah tua. Pamor keluarga terselamatkan dengan hadirnya anak yang bisa menggantikan kepemimpinan sang Bapak. Itulah sebabnya anak lelaki selalu menjadi anak emas dalam keluarga.

Sang bapak memandang anak-anak lelakinya dengan bangga. Hulu, anak lelaki sulung yang sudah jadi orang Jakarta. Hala, anak lelaki bungsu yang baru lulus dari universitas di Medan dan sedang melamar menjadi birokrat, memiliki kebijakan dan pengetahuan adat yang dibutuhkan seorang pemimpin keluarga.

Hala menghormati abang lelakinya. Merendahkan hati kepadanya. Hulu menyadari bahwa dirinya sudah tak tahu adat dan merelakan kekuasaannya sebagai anak lelaki sulung kepada adiknya. Kedua anak lelaki itu saling menyadari situasinya. Hanya mereka berdua anak lelaki dalam keluarga, enam lainnya adalah anak perempuan.

Itulah yang membuat sang Bapak merasa bangga. Air mata tergenang di pelupuk matanya melihat kedua anak lelakinya itu.
***

Seminggu sebelumnya. Kehadiran Hulu menjadi sebuah suka cita bagi orang tua dan keluarganya. Si anak yang hilang yang jarang pulang. Banyak hal yang mereka ingin bicarakan tapi mereka harus membicarakan pernikahan seorang adik perempuan Hulu. Belum lagi hewan-hewan yang harus dipotong untuk pesta.

Perbincangan-perbincangan dengan orang tua, kakak perempuan, dan adik-adiknya harus membuat Hulu mengerti mengapa sang Bapak meminta seratus juta rupiah untuk mas kawin (böwö ) anak perempuannya. Tapi Hulu tak mau mengerti.

Seorang lelaki sarjana dan pegawai pemerintah, akan diminta böwö yang lebih kurang daripada lelaki yang sekolahnya rendah dan kerja petani. Hutang adatnya akan berlangsung selama hidupnya.Tetapi seorang perempuan yang bersekolah tinggi dan menjadi pegawai, akan menaikkan kembali böwö yang diminta. Adik perempuan Hulu itu bersekolah di Jakarta sampai D-3 atas biaya dari abangnya, Hulu. “Berapa yang kamu minta untuk pengganti biayamu menyekolahkan adikmu....” tanya sang Bapak.

“Itu semua sudah kuno....” kata Hulu dengan wajah mencela. “Mengapa kalian masih ketinggalan jaman dan tidak melihat bahwa dunia ini sudah berubah.... Tuntutan adat sebesar itu hanya akan membuat masa depan suram. Baru mau menikah sudah berhutang banyak....”

Ayah Hulu –seorang yang sangat kuno dan karena kekunoannya itu terlalu hormat pada anak lelaki sulungnya- terdiam. Termangu. Merasa apa yang disampaikannya –suatu hal yang wajar saja dalam adat di masyarakatnya- dikecam oleh anak lelakinya.

“Abang tidak bisa mengecam adat kuno di sini. Adat kuno itu tidak bisa dilanggar. Tidak sepenuhnya harus kita ikuti. Tetapi harus dijalankan....” Adik lelakinya –Hala- menyatakan pendapatnya. Meskipun Hala merantau ke Medan, namun tidak sampai selama abang sulungnya dan masih lebih sering mudik. Karena itu ia memaklumi abangnya yang hidup di Jakarta –setelah selama puluhan tahun merantau dalam perjalanan yang keras untuk bertahan hidup di kota besar- adalah seorang yang suka berdebat dan tidak memedulikan bahwa di kampung halamannya seorang anak lelaki sulung tak terbantahkan. Orang tua pun tak membantahnya. Tunduk padanya. Bahkan nama seorang Bapak pun hilang ketika anak lelaki sulungnya hadir. Ama Hulu (Bapaknya si Hulu), begitu nama baru bapaknya. Ina Hulu (Ibunya si Hulu) begitu nama baru ibu mereka. Meskipun Hulu mempunyai tiga kakak perempuan yang sudah menikah, dalam keluarganya, dialah yang akan menjadi pemimpin, penerus bapak.

“Kau Hala, percuma saja sekolah sampai sarjana kalau kau biarkan adat itu menyengsarakan orang di kampungmu. Dalam keluargamu....” Angkuhnya seorang kakak lelaki tetap membuatnya berkeras.

“Kita tidak bisa mengubahnya secara drastis. Memang kita harus memberi pengertian kepada orang-orang tua bahwa harus ada perubahan. Harus ada pengertian kepada orang-orang muda yang baru bekerja. Baru akan menikah....” kata Hala dengan sabar. “Itu tidak mudah, Abang. Kalau tidak Bapak kita akan dihina keluarga besar kita....”

“Biarkan saja kebodohan itu....” bentak Hulu. “Mereka tidak menyumbang apa pun kepada kita saat bersekolah. Bahkan menghina ayah kita karena menyekolahkan kita dengan susah payah. Bapak juga dihina karena tidak bisa membuat pesta-pesta adat untuk dihormati orang..... Kenapa mereka sekarang yang menentukan böwö untuk adik perempuan kita?”

Sang adik terdiam. Bersikap bijaksana agar suasana tidak meruncing.
***

Sopan santun membuat sang adik menyimpan pendapatnya, bersabar dan berkata pada kakak lelaki sulungnya. “Apa keputusan, Abang?” Untunglah rasa tahu diri dan sifat jujur membuat sang abang menjawab. “Buatlah keputusan olehmu. Kamu lebih tahu adat daripada aku....” Sang adik tahu abangnya tidak sedang merajuk atau menyindirnya, maka dirangkulnya sang abang dengan penuh sayang. “Berapa uang bagian abang?” tanya sang adik dengan senyum menggoda. “Aku tak mau sepeserpun!!” bentak Hulu. Menganggap hal serupa itu sebagai suatu kekonyolan sehingga pertanyaan itu pun menjengkelkannya.

“Aku rasa 5 juta rupiah akan cukup bagi harga diri abang sulung kita, Bapak....” kata sang adik sambil tertawa ke arah bapaknya. “Abang boleh kembalikan uang itu kepada kedua mempelai untuk modal mereka dalam membentuk rumah tangga baru.... Bukan begitu, Abang?” tanya Hala kepada calon kakak ipar lelakinya yang hadir menontoni perdebatan menarik keluarga calon istrinya. Sang calon ipar –seorang pedagang muda yang sedang mengalami kemajuan- tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Maka dirancanglah oleh Hala keputusan-keputusan tentang böwö yang harus dibuat bapaknya, baik itu nilai uang, emas dan hewan yang dibutuhkan. Calon iparnya ikut memberi pandangan berdasarkan kemampuan dia. “Jangan kurangi jumlah emas yang menjadi hak paman-paman kita, Bapak....” kata Hala dengan sikap seperti seorang politisi yang sedang menyusun siasat mengalahkan lawan. “Jumlah emas tetap sama, kemudian dikonversi menjadi sejumlah uang sesuai dengan kemampuan kita. Katakan kepada para paman bahwa penghargaan kita tak berkurang, tetapi uang kita tak cukup....”

Hala berkata kepada sang Bapak. “Tugas Bapak untuk mengatakan bahwa kita menghargai para paman senilai emas yang menjadi haknya. Tapi uang tak mencukupi sehingga kita memohon kebijaksanaannya....”

Sang Bapak menganggukkan kepala tanda mengerti. Memandangi anak lelaki bungsunya yang sedang melakukan peran penting dalam keluarga. Kemudian pandangannya berpindah kepada anak lelaki sulungnya yang acuh saja. Anak sulungnya itu malah menggoda nenek-nenek yang duduk di sampingnya –kakak perempuan sulung sang Bapak- sehingga perempuan tua itu tertawa senang. Perempuan tua berwajah keriput itu –dengan sorot mata seorang manusia yang perjalanan hidupnya panjang dan rumit- mengelus pipi keponakannya sambil berlinangan air mata. “Kalian orang-orang berhati baik....” katanya berbisik di telinga sang keponakan.

Anak lelaki sulung yang menolak tanggung jawab menjadi pimpinan adat dalam keluarga. Anak yang sudah tak tahu adat dalam berkata kepada Bapaknya. Orang kampung yang puluhan tahun merantau di Jakarta sehingga tak bisa berbicara santun dengan tetua-tetua dalam keluarga. Begitulah sosok Hulu. “Aku mencintai kalian lebih daripada anak-anakku sendiri....” perempuan tua itu berbisik lagi di telinga Hulu. Perempuan tua ini bersuamikan lelaki yang paling kuno dan pemarah dalam setiap musyawarah keluarga atau musyawarah adat kampung. Dan memiliki anak-anak lelaki yang menjadi pengikut Bapaknya.

Hala tahu bahwa figur kakak sulungnya itu menyulitkan Bapaknya. Menjadi musuh adat dalam keluarga maupun masyarakat akan berkonsekuensi berat bagi Bapaknya.

.***

Amplop-amplop berisi uang bertumpuk di atas meja. Di hadapan Bapak.

Para paman dari pihak mama, paman dari pihak bapak, sepupu-sepupu bapak, istri-istrinya, dan anak-anaknya, berkumpul dalam sebuah lingkaran di dalam rumah. Hala berada di samping ayahnya, menjadi pembisik. Bapaknya akan menjelaskan tentang pembagian böwö yang diberikan pihak mempelai lelaki yang meminang anak perempuannya.

Mama dan anak-anak perempuan, termasuk calon mempelai perempuan, dan para ipar lelaki dari kakak-kakak perempuan Hulu yang sudah menikah, duduk dalam satu kerumunan. Hulu duduk di samping pamannya yang paling tua dan pemarah. Sang paman duduk dengan sikap angkuh, kaki naik ke atas kursi, dan letak tangan yang gagah.

Sang Bapak menjelaskan jumlah böwö dan pembagiannya berdasarkan tata cara adat yang berlaku. Bagian untuk para paman. Bagian untuk abang sulung yaitu Hulu. Bagian untuk keluarga semarga. Para pekerja yang memasak dan melakukan segala hal selama pesta pernikahan. Penjabaran itu dilakukan dengan hati-hati. Cukup lama. Sebuah proses diplomasi yang melelahkan. Menegangkan.

Seorang sepupu Bapak yang hadir mewakili ayahnya yang sakit, mendengarkan dengan seksama, kemudian serta merta berdiri. Sebuah bungkusan kertas putih diletakkannya di atas meja, sambil berkata. “Keluarga kami menerima emas yang diberikan kepada Bapak kami dengan rasa terimakasih atas penghormatan dan kasih sayang tersebut. Nilai uang yang diberikan tidaklah penting. Kami mengerti saat ini sangat sulit mendapatkan uang sebesar itu bila harga emas diuangkan....” katanya. Kemudian bungkusan itu diserahkan kepada sang Paman, bapak dari calon mempelai perempuan. “Kami sekeluarga memberikan hadiah ini untuk adik kami yang akan menikah. Sebuah emas yang sangat kecil hanya sebagai tanda kami merestui dan mengharapkan masa depan yang baik bagi mereka yang menikah....”

Bapak menggenggam bungkusan kecil itu kuat-kuat dan meneteskan air mata. Suasana menjadi hening dan hikmat.

Proses musyawarah tidak diperlukan lagi. Semua menerima amplop dan mengatakan hal yang sama. Menerima, memahami, dan mendoakan. Paman yang sulung mengambil amplop uang yang menjadi bagiannya. Mencerca dan menyatakan ketidakpuasannya mengenai nilai uang “simbolik” dari pembagian adat tersebut sambil berangkat pulang.

Hampir saja Bapak terpancing emosi mendengar kata-katanya. Namun Hala mencegah Bapaknya. Memegang dan memeluknya dari belakang. Hulu tak mengacuhkan ketegangan itu dan duduk saja menonton tanpa berkata-kata.

Hala menjabat erat tangan sepupu-sepupu bapak dan ibunya yang telah memberikan dukungan terhadap musyawarah keluarga itu. Berpelukan. Mereka saling mengangguk tanpa berbicara, hanya tanda saling mengerti.

Beberapa dari sepupu ini adalah birokrat yang telah bersusah payah mencapai pendidikan tinggi sebelumnya. Sebuah pengertian yang terjalin dari orang-orang yang sudah melihat dunia yang lebih luas yang diberikan di institusi pendidikan dan kemudian membawanya kepada kesempatan-kesempatan untuk berubah.

***

Pernikahan kemudian dilangsungkan dengan meriah.

Sesudah itu Hulu kembali ke Jakarta. Kembali kepada pekerjaannya di sebuah perusahaan otomotif. Masih tetap menggerutu bila mendapat telepon dari Hala tentang hal-hal adat yang harus melibatkan pendapatnya sebagai anak lelaki sulung.

Lalu Hala menjadi birokrat di pemerintahan daerah, menikah dengan perempuan berpendidikan dari keluarga terpandang, dan menjadi orang yang dihormati di masyarakat. Menjadi pemimpin keluarga yang baru, menggantikan figur Bapaknya. Juru bicara keluarga dalam musyawarah keluarga dan masyarakat bila bapaknya berhalangan sakit.

“Rumah dan kebun semuanya adalah hak abang selaku anak lelaki sulung. Bapak dan mama sudah terlalu tua untuk mengurusnya....” Suatu hari Hala menelepon abangnya. Mendapat warisan rumah, kebun, ladang, bukanlah mendapatkan harta, tapi memperoleh kewajiban-kewajiban sebagai pemimpin dalam keluarga.

“Ah, kau ambil sajalah itu. Aku kan tidak akan pulang ke kampung lagi....” kata Hulu tanpa berpanjang-panjang.”Ya sudah kalau begitu....” Hala maklum dengan abangnya yang tak sabaran. “Ya’ahowu, Bang.... Salam sejahtera untuk istri dan anak-anak....”

“Ya’ahowu, Dik.... Jaga orang tua kita....” kata Hulu. Membanting telepon.
***

Daftar Istilah:
  • Böwö (dibaca “Bewe”) = Arti harafiahnya adalah “pemberian dengan kasih”. Bewe dalam adat perkawinan berarti jujuran (mas kawin) yang diberikan pihak mempelai lelaki.
  • Ya’ahowu! = Salam! (Bahasa Nias), serupa dengan Horas! (Bahasa Batak).

Note: Kisah ini terinspirasi oleh keluarga suamiku yang berhati baik dan penuh cinta. Terutama Bapak yang bersedia mengorbankan nilai-nilai adat demi menghormati anak-anak lelakinya –yang sudah punya pandangan baru akibat memperoleh pendidikan tinggi yang diperjuangkan Bapak sendiri. Pasti itu sesungguhnya menyakitkan hatinya.

Tidak ada komentar: