Sabtu, 08 Oktober 2011

Merry dan Gorys

Cinta itu indah. Bukan. Bukan. Cinta itu menyakitkan. Karena cinta ingin memiliki. Setelah memiliki, mengikat dan mengekang. Cemburu menghantui perasaan kita. Prasangka menyakiti setiap hari, dalam setiap peristiwa.

Kebanyakan cinta antara perempuan dan lelaki bukanlah cinta sejati. Cinta birahi, cinta eros, lebih merupakan cinta kepada rupa dan wujud fisik. Bukan seperti cinta sejati ibu kepada anaknya yang ditakdirkan begitu murni. Cinta sejati antara kekasih butuh perjuangan dan waktu untuk ditumbuhkan. Tidak. Tidak ada cinta sejati yang datang karena rupa. Tidak ada cinta pandangan mata. Cinta sejati antara kekasih akan tumbuh karena teruji dalam peristiwa-peristiwa. Waktu yang panjang. Ujian-ujian yang terlewati.

Cinta kekasih yang tak kesampaian seperti hantu. Membayangi. Mengikuti. Menampilkan wajah yang sedih. Apalagi cinta dari masa yang sangat muda. Menjadi banyak kenangan dan ilusi. Menjadikan banyak pengandaian yang mengganggu. Seandainya aku percaya pada satu cinta saja seumur hidupku. Seandainya aku bersedia menderita untuk satu-satunya cinta yang ada dalam hidupku. Seandainya aku tahu dialah cinta sejatiku.

Itulah yang terjadi pada Merry. Cintanya di masa kuliah dulu terlalu lama berjalan. Menjadi suatu ikatan yang sulit dilepas. Namun dipenuhi kepahitan rasa cemburu terhadap pria yang terlalu banyak disukai wanita. Dan pria yang suka menebar pesona. Merry mengira dia harus mengakhiri sakit hatinya dengan berpisah.

Namun perpisahan itu kemudian menjadi hantu selama hidupnya. Gorys –sang kekasih di masa muda- tak pernah pergi dari hidupnya. Dia selalu ada.

Mereka bertemu di gedung perkantoran yang sama. Pesta perkawinan kenalan yang sama. Organisasi yang sama. Gereja yang sama. Saling memandang dalam jarak beberapa langkah, namun terpisahkan oleh dinding yang tebal. Perasaan cinta mereka yang tak juga pudar telah memaksa mereka untuk menjaga jarak.

Tatap mata yang sedih menimbulkan luka di hati Merry. Gemetar di bibir Merry saat dipandangnya dari kejauhan, menimbulkan gejolak rindu di hati Gorys.

Merry menikah dengan pria yang bertemu dengannya di saat kedewasaan sikap sudah membuatnya lebih berhati-hati. Begitu pun Gorys bertemu dan menikah dengan seorang wanita di saat usia pernikahan sudah matang dan pertimbangan-pertimbangan keluarga banyak terlibat terhadap pilihan pasangan hidup yang dianggap sepadan untuknya.

Tak ada yang akan bisa menggantikan Merry dalam hasrat Gorys. Dan tak akan ada yang menggantikan Gorys dalam fantasi cinta Merry.

Kenangan ciuman pertama lelaki yang dilakukan sembunyi-sembunyi di belakang pohon di kebun belakang rumah Merry, selalu menggetarkan hati.
***

Era telepon genggam belum terjadi saat itu. Aku sempat heran karena Ibu Merry sering menerima telepon di kamar hotel. Kami sekamar dalam sebuah acara seminar nasional di sebuah hotel berbintang di Kupang. Perbedaan umur lebih dari 20 tahun tidak membuat kami kesulitan untuk bersahabat. Kami sudah bertemu dalam beberapa kegiatan, sehingga menjadi teman sekamar itu justru diatur oleh Ibu Mery selaku salah satu panitia. Ibu Merry suka padaku karena aku tukang cerita. Dan tukang menghina pria-pria.

Suaranya ditelepon dikecilkan. Aku pun tak begitu memperhatikan. Ibu Merry yang justru mengira aku mengetahui isi hatinya. Jadi, ia berbaring di tempat tidurnya di sebelahku dan mulai menjelaskan.

“Bekas pacarku yang menelepon....” katanya. Mula-mula aku tercengang. Kemudian membelalakkan mata. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Terakhir, mencibirkan bibir. Ibu Merry bukanlah wanita yang muda. Usianya sudah lebih kepala lima. Berarti sudah mendekati pensiun dari pekerjaannya sebagai birokrat di Kupang.

“Ahahahahahahaaaa.... Cerita sebelum tidur yang asyik, nih....” kataku. Biasanya aku yang tukang cerita. “Ceritakan, Bu....” Ibu Merry menerawangkan matanya yang berkaca-kaca. Mengenang waktu ke belakang yang telah lewat. Masa muda yang sudah pergi.

Menunggu. Seiring berlalunya masa muda, menunggu berakhirnya kerinduan kepada sang kekasih. Tapi tak kunjung datang. Tak pernah datang akhir dari kerinduan cinta yang tak kesampaian itu.

“Dia biasa saja.... kata orang....” Ibu Merry meneteskan air mata. “Tapi dia sangat tampan, menurut aku....”

“Dia dimana sekarang?” tanyaku.

“Kami satu kantor. Setiap hari kami bertemu selama puluhan tahun....” Maka berjatuhanlah air mata Ibu Merry. “Kalau aku pergi ke luar kota, dia akan meneleponku setiap hari.... Bahkan sering sekali.... Kalau di kantor kami hanya saling memandang dari kejauhan tanpa berkata-kata.....”

“Astagaaaaaaaa.....” kataku.
***

Merry adalah bintangnya. Di SMA. Pria-pria di daftar pengagumnya sudah di tangan ‘dewan juri’ yang cerewet, sahabat-sahabatnya. Gorys dicoret. Masih lebih baik pria-pria yang lain. Lebih pandai. Lebih tampan. Lebih kaya, keluarganya. Lebih punya gaya.

Namun itu semua cuma kenangan masa SMA karena ayah Merry –seorang pendeta- tak mengijinkan pacaran di masa SMA. Setelah masuk ke universitas, baru boleh. Masa SMA itu untuk belajar keras dan berusaha masuk ke Universitas Cendana sebagai bukti memiliki prestasi akademis yang baik. Begitu menurut ayahnya.

Merry lulus ke Fakultas Pertanian Universitas Cendana seperti yang diharapkan ayahnya. Sebuah kejutan, Gorys pun lulus ke fakultas dan universitas yang sama. “Aku mengikutimu...” kata Gorys kalem, ketika Merry mengucapkan selamat atas kelulusannya. Sejak itu Gorys bukanlah lelaki yang biasa saja di mata Merry. Meski sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa ada yang lebih “keren” atau lebih ini dan itu, namun Merry mulai tertambat hatinya pada pria yang teguh mengejar dirinya sejak SMA. Tapi telah didiskualifikasi sejak awal oleh sahabat-sahabatnya, Lisbeth, Ana, dan Lola.
***

“Mengapa Gorys?” Tanya Lisbeth. “Vinsen lebih keren....”

“Aku tidak ingin pacar yang keren. Aku ingin pria yang baik dan setia....” begitu kata Merry. Klise. Suatu konsepsi yang diyakini sejak kanak-kanak, kalau mempunyai kekasih ingin kekasih yang sejati. Tanpa menyadari bahwa kekasih sejati tidak tersedia sebagai stok (It’s not a ready stock, girl...), tapi tumbuh dalam perjalanan kebersamaan.

“Ahhhhhh, Peter juga pria yang baik. Dia rajin ke gereja. Keluarganya keren....” Kata Lisbeth. Menganggap pilihan Merry sebagai tak cerdas.

Gorys memang berasal dari keluarga yang sederhana. Gorys sering jalan kaki atau hanya naik angkutan kota. Tidak punya motor yang keren seperti Peter.

Namun Merry memilih Gorys yang berwajah lembut dan sederhana. Ketimbang pria yang berpenampilan keren. Percaya bahwa kekasih seperti Gorys akan membuatnya merasa aman. Tidak akan dikhianati. Tidak akan dihantui perempuan yang lain.

Menjadi kekasih Merry telah mengibarkan pamor baru Gorys. Orang-orang menoleh padanya, mencoba menilai mengapa bintang sekolah dan bintang kampus itu memilih dirinya. Tentunya dia seorang pria istimewa. Perempuan-perempuan memberinya nilai lebih. Gorys menjadi lebih mengejar suatu pencapaian yang akan membuat dirinya lebih dianggap layak menjadi kekasih Merry di mata sahabat-sahabatnya. Menjadi Ketua Senat membuatnya semakin populer di antara gadis-gadis kampus.

Rasa cemburu. Gangguan-gangguan yang datang dari cerita tentang Gorys dan gadis yang mengejarnya mulai menimbulkan kegundahan Merry. Merry yang pintar dan manis. Tapi Gladys yang tak terlalu pandai itu cantik dan seksi. Untuk apa perempuan pandai? Perempuan yang dipilih lelaki itu yang tidak terlalu pandai, berwajah cantik, dan memakai baju yang memperlihatkan kakinya yang indah. Sedangkan Merry selalu memakai rok yang panjang atau celana panjang dengan blouse yang longgar.

Gorys yang biasa saja telah berubah menjadi bintang kampus. Ketua Senat yang kalem, percaya diri, dan mendapatkan banyak dukungan. Dia sekarang telah menjadi pria yang paling tampan menurut gadis-gadis kampus.

Merry mulai merasa tersisihkan.

***

Tak terbayangkan sebelumnya oleh Gorys, seorang gadis berpenampilan glamour seperti Gladys akan menatap wajahnya penuh arti dan menggandeng tangannya. Saat dirinya masih belum masuk daftar “pria pilihan”, sebelum menjadi Ketua Senat, hal itu mustahil terjadi. Gorys menikmati reputasi barunya. Motor baru –meski tak bagus- menolongnya untuk bisa mengantar jemput teman-temannya. Atau gadis yang memberinya banyak alasan untuk memboncengnya ke suatu tempat. Rapat Senat. Malam penggalangan dana.

Di luar kegiatan perkuliahan di kampus, Merry hanya ke gereja. Tidak berorganisasi. Ayahnya tak pernah mengijinkannya keluar malam. Tidak juga suka dia berboncengan dengan pria-pria dengan alasan kegiatan organisasi.

Gorys membonceng Gladys untuk menemui sponsor kegiatan. Menjemput Maria untuk suatu rapat. Mengantar pulang Elis setelah suatu kegiatan diskusi kampus. Dan banyak lagi nama-nama gadis cantik yang berseliweran di kuping Merry.

Merry mulai merasa sering disakiti. Dikhianati. Gorys yang dahulu dipilihnya karena kesederhanaan dan kelembutannya, telah berubah menjadi pria flamboyan yang menebarkan pesona ke sana kemari.

Merry memutuskan hubungan mereka di saat menjelang kelulusannya. Kemudian mendengar Gorys telah berpacaran dengan Gladys. Perempuan cantik berpenampilan modis, dengan kaki yang indah. Begitulah seorang Gorys yang sebenarnya, sama saja dengan pria lain yang menginginkan perempuan cantik ketimbang kesetiaan cinta.

Begitu Merry merasakan pahitnya patah hati saat itu.
“***

Pria yang baik, bekerja, sepadan dengan Merry. Begitulah konsepsi mencari pasangan hidup yang umum berlaku setelah usia cukup dewasa. Merry bekerja sebagai PNS muda yang cerdas, enerjik, tekun, disukai atasan dan kolega, disukai banyak keluarga. Tidak sulit menemukan calon suami untuknya.

Keluarga menemukan David yang tampan, baik, rajin ke gereja, PNS juga, tidak neko-neko, selalu serius dengan apa pun, untuk menjadi calon suami Merry. Merry menerimanya sebagai suatu pilihan yang baik bagi dirinya. Gorys sudah terlupakan dalam ingatannya.

Gorys hanyalah cinta yang dikiranya cinta sejati. Dikiranya Gorys akan setia padanya, mengejarnya kemana pun, mempertahankannya meski terhalang badai dan rintangan. Tak ada Gladys atau perempuan secantik apa pun yang bisa mengalihkan cinta Gorys pada Merry. Tapi itu sebuah cerita khayalan Merry saja terhadap Gorys.

Gorys tertarik pada Gladys yang cantik, glamour dan berkaki indah. Jadi, lupakan Gorys. David lebih tampan dan baik.

Ketika Merry sedang mempersiapkan pernikahannya, dia mendapat berita yang mengejutkan dari sahabatnya. Gorrys menjadi PNS di kantor yang sama dengannya. Merry mencoba menerima kabar itu dengan biasa saja. Mungkin kebetulan Gorys melamar ke kantornya karena latar belakang pendidikan mereka yang sama. Berarti sebuah kartu undangan harus diberikan juga kepada Gorrys.

Pada hari pernikahan Merry dengan David, pesta meriah yang berlangsung dipenuhi dengan puji-pujian tentang pasangan menikah yang serasi. Pasangan yang diberkati Tuhan karena dianugerahi wajah yang tampan dan manis, pribadi terpuji, pekerjaan yang baik, nama-nama baik kedua belah pihak keluarga, dan semua hal-hal baik.

Merry melihat di bawah pohon di halaman rumahnya, Gorys berdiri memandang kepadanya. Tatapan matanya. Gemetar tubuhnya. Hujan gerimis membasahi rambut, wajah dan pakaiannya. Gorys kemudian pergi tanpa memasuki rumah untuk menyalami kedua mempelai. Merry menatap kepergian Gorys dengan dada terguncang.

Tatapan mata dan wajah Gorys tak akan pernah terlupakan.
“***

Ibu Merry menghapus air matanya. “Kami saling menatap dari kejauhan. Kami selalu berada di dalam gedung yang sama setiap hari. Tak saling bicara. Memilih tak pernah naik pangkat asalkan tak dipindahkan ke tempat lain....” Air matanya makin deras jatuh ke atas pipinya. “Hanya kalau aku sedang pergi ke luar kota atau di luar seperti begini, dia meneleponku. Melepas rindu. Menyatakan cinta berulang-ulang....”

“Oh, mama, mama, mama....” Aku memeluk Ibu Merry. “Sungguh indah kisah cinta mama. Cinta abadi. Meski tak saling memiliki....”

“Tak seorang pun tahu kecuali kami berdua. Sekarang kamu tahu....” Katanya. Wanita yang baik, PNS yang jujur, rajin ke gereja, mencintai anak-anaknya, menghormati suaminya. Mengkhianati suaminya juga. Aku tidak berani bertanya, apakah Gorys menyusulnya bila dia pergi ke luar kota. Seharusnya begitu.

“Indah sekali mamaku.... Indah sekali. Pertahankan cinta sampai akhir hayat di kandung badan. Sampai mati....” Kataku.

“Tidakkah itu berdosa. Cinta yang tak patut....” Ibu Merry berbisik.

“Cinta yang tak patut? Mana ada cinta murni yang tak patut.... Cinta semacam itu tak salah dan tak tak patut, mama....” Cinta di antara perempuan berusia lebih dari 50 tahun yang wajahnya sudah menua dan tak cantik lagi dengan pria yang sudah botak dan tak tampan lagi, tentu saja patut jadi legenda. “Kalian harus bertemu, Mama Merry. Suruhlah dia datang kemari.....” kataku berbisik. “Aku akan kabur ke kamar si Ellen kalau pujaan hatimu datang....”

Ibu Merry mengangkat wajahnya dan memandangku dengan terkejut. Tapi aku menutupkan selimut sampai ke kepalaku. Tersenyum sendiri.
***

Note: Aku rasa harus kutuliskan kisahmu menjadi sebuah cerpen, Bu. RD.

Tidak ada komentar: