Selasa, 11 Oktober 2011

Perempuan Jawa, Mereka Menyebutku

"Perempuan Jawa..." bisik-bisik penumpang bis sambil melihat ke arah saya pada sebuah kegiatan di Bajawa, Flores. Ketika saya menoleh, mereka tersenyum ramah sehingga saya membalas senyumannya.

"Perempuan Jawa..." desis sejumlah orang sambil menatapku tak ramah, dan plakkkkk, pasir di pantai Kota Dili dilemparkan ke arahku. Anak-anak berlarian, sementara orang-orang dewasa memandangku dengan tertawa sinis. Peristiwa ini terjadi tahun 1995, sebelum referendum tahun 1999 yang menjadikan Timor Timur terlepas dari Indonesia.

"Perempuan Jawa, suaranya kecil...." kata gadis-gadis di sebuah desa di Sumba. Aku mengernyitkan alis karena di rumah aku dianggap bersuara terlalu lantang. Mereka mengajak aku menari kolektif dan mentertawakan kekakuan gerakanku. Menurutku gadis-gadis  bermata belo itu seperti gadis Pakistan.

"Perempuan Jawa, kulitnya halus ya..." ibu-ibu tertawa-tawa sambil mencolek pipiku di sebuah desa yang dingin di Timor Tengah Utara. Mereka bilang kulitku halus dan basah karena minum air putih banyak sekali. Sementara mereka minum air hanya setelah makan saja, saya perlu minum sepanjang hari dan selalu membawa-bawa botol air. Sama seperti di Sumba, mereka juga mengajari aku menari. Suara gemerincing lonceng-lonceng gelang kaki mengiringi gerakan yang enerjik.

Ketika saya pertama kali pulang ke kampung suami, di Orahili Gomo, Nias Selatan, para kerabat berbicara dalam bahasa lokal, entah apa, tetapi saya juga mendengar mereka mengatakan "Perempuan Jawa" ke arah saya. Mereka mengatakan "Perempuan Jawa yang tersenyum..." Karena mereka pikir perempuan Jawa lainnya yang dibawa pulang kerabat/kenalan, sombong, tidak banyak bicara dan juga tidak tersenyum. Padahal saya tersenyum karena tidak mengerti apa pun pembicaraan mereka dan tidak dapat mengatakan apa-apa dengan para orang tua dan kerabat.

Di sebuah pedesaan di Sulawesi Selatan, saya sudah memperkenalkan diri sebagai orang dari Bandung, dan itu di Jawa Barat. Kemudian ada warga yang baru datang, berbisik ke seseorang di sebelahnya, siapakah tamu itu. Maka dijawabnya secara berbisik pula: Perempuan Jawa.

Tahun 1999 saya ke Papua, memperkenalkan diri sebagai orang dari Bandung kepada masyarakat Dani di sebuah desa. Pertanyaannya: Bandung itu dimana? Ketika saya jelaskan Bandung itu dekat Jakarta, di Jawa Barat, maka komentarnya: Oh, orang Jawa. Bahkan ada yang mengatakan: Oh, orang Indonesia.

Barulah ketika saya ke perdesaan di Aceh, mereka mengangguk-angguk dan mengerti bahwa saya orang Sunda. Komentarnya: Orang Sunda itu bahasanya banyak menggunakan huruf "eu" seperti bahasa di Aceh. Rasanya saya tidak percaya bahwa orang Aceh ternyata bisa membedakan orang Sunda, dan tidak menyebut saya "Perempuan Jawa." Mungkin kali itu kebetulan ketemu dengan orang yang tahu. Tapi beberapa kali kemudian saya jadi percaya bahwa orang Aceh bisa membedakan orang Sunda dan Jawa.

Mungkin apa yang saya alami tidak mewakili pemahaman masyarakat di keseluruhan daerah itu, apalagi yang saya maksudkan adalah orang desa yang mungkin kurang mengenal dunia luar. Tapi yang jelas, itu mewakili pengetahuan masyarakat Indonesia yang mayoritas di perdesaan. Saya disebut "Perempuan Jawa" dan ditertawakan ketika mencoba menjelaskan bahwa saya orang Sunda, bukan Jawa. Mereka bilang: Orang Sunda itu dimana? Ketika saya jawab di Jawa Barat, maka tertawalah mereka sambil berkata: Lho, kan itu orang Jawaaaa juga....

Ampun lah. Termasuk mertua saya pun, seorang petani yang ramah, sampai sekarang mengatakan bahwa saya (menantunya) perempuan Jawa. Ya, sudahlah.

Ketika anak-anak saya ikut pulang ke kampung ayahnya, tanggapan mereka berbeda. Baru 2 hari si kecil sudah ingin pulang. Kata si kecil (saat itu 5 tahun): "Ayah, saya mau pulang ke Indonesia.... enggak enak, di Nias enggak ada komputer...." Sementara itu, si sulung (waktu itu 10 tahun) berkomentar: "Ayah itu orang Nias yang beruntung, bisa terdampar di Bandung.... dan makan pizza..."

Maklum, pizza dan burger itu sudah jadi makanan kegemaran anak-anak. Akibat gencarnya iklan di TV.

Bahkan Indonesia masih diartikan sebagai Jawa oleh anak kecil dan orang Papua itu. Tapi itu tidak sengaja, saya kira, karena kurangnya pemahaman tentang negeri Indonesia. Sama seperti ibu saya ketika bertanya kepada seorang teman dari Kupang yang berkunjung ke rumah kami di Bandung: “Timor itu dimana?”

Tapi berbeda dengan seorang kenalan di Tapak Tuan, Aceh, yang secara sengaja menyebut saya sebagai orang dari “negara tetangga”. Seolah menyatakan bahwa negeri kami adalah Negeri Aceh yang tetap (akan) merdeka.
***

Saya sedang menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau yang terlewati di geladak kapal. Pulau Ternate dan Tidore nampak berjajar berdampingan. Selama saya di Ternate, pulau yang dapat dikelilingi dengan mobil selama sekitar 1 jam tanpa berhenti itu nampak selalu diikuti oleh Pulau Tidore. Benteng-benteng pertahanan di sekeliling Pulau Ternate seolah semua menghadap Pulau Tidore.

Sekarang, dalam perjalanan menuju Kepulauan Sula, saya melihat Pulau Ternate dan Tidore –bagai dua gunung yang berdiri bergandengan- semakin menjauh dan mengecil. Ketika kapal berangkat dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, saya baru menyadari bahwa gambar Pulau Tidore dan pulau kecilnya –Maitara- yang terdapat di uang kertas seribu itu difoto dari arah kapal yang sedang saya tumpangi.

Sambil memperhatikan menjauhnya Pulau Ternate dan Tidore, saya mulai melihat bahwa banyak anak muda yang menjadi penumpang kapal. Kebanyakan pemuda, hanya beberapa pemudi. Apa yang dilakukan anak-anak muda ini, pikir saya, tentu mereka meneruskan sekolah. Kalau mereka masuk ke perguruan tinggi mereka harus ke Kota Ternate atau Ambon atau Makasar.

“Pulau apakah itu?” tanya saya kepada pemuda yang duduk di dekat saya. Tiga pulau nampak mengambang di kejauhan. “Tidak tahu....” katanya. Dia tidak tahu nama pulau yang ada di dekat pulau kelahirannya? Oh, oh. Saya menanyakan ke beberapa anak muda yang lain. Mereka mengangkat bahu atau menggelengkan kepala. “Tidak tahu,” katanya.

Pemuda berwajah ramah tapi nampak pendiam itu, berbalik menyapa saya. “Mau kemana?” Tanyanya. “Sanana...” Jawab saya. “Darimana?” Tanyanya lagi. “Jakarta....” Jawab saya. “Oh, dari Jawa...” Katanya.

“Kamu mau kemana?” Saya balas bertanya. “Sanana...” Jawabnya. “Kamu orang Ternate?” tanya saya lagi. “Bukan. Saya orang Sanana...” Katanya.

“Oooo, kamu pulang dari Ternate...” Kata saya penasaran. “Bukan, saya dari Manado....” “Oooh, kamu sekolah di Manado....” kata saya lagi. “Bukan, saya hanya main, diajak saudara. Saya mau cari kerja....” katanya lagi. “Saya belum pernah ke Ternate....”

Pemuda itu memang pendiam rupanya. Ucapannya pendek-pendek. Namun dia juga terdorong rasa ingin tahu. “Mengapa berani bepergian ke tempat jauh?” Tanyanya. Saya mengernyitkan kening. “Memangnya kenapa saya harus takut?” Tanya saya. Pertanyaan untuk mengorek keterangan.

“Tidak takut seseorang merampas barang-barang, Ibu?” Tanyanya lagi. “Apakah hal semacam itu akan terjadi?” Tanya saya. Pemuda itu terdiam.

“Pernah ke Jakarta?” Tanya saya. “Tidak pernah....” Jawabnya. “Pernah ke Pulau Jawa?” Tanya saya lagi. “Tidak Pernah....” Jawabnya.

“Saya baru pertama kali ini ke luar pulau... Diajak saudara yang kerja di Manado....” katanya. “Saya ingin ke Ternate untuk mencari kerja....”

Kami tidak bercakap-cakap lagi. Pemuda itu melakukan perjalanannya sendirian. Pulang ke kampung asalnya di Pulau Sanana. Pulau yang tidak memiliki akses informasi tentang dunia luar. Saya mencoba ke warnet di Sanana, ternyata untuk mengirim satu email saja membutuhkan waktu hampir 1 jam. Harga warnet pun mahal, Rp.10.000 per jam. Tak ada toko yang menjual koran.

Maluku yang disebut propinsi sejuta pulau itu dimekarkan menjadi dua propinsi. Propinsi Maluku yang beribukota di Ambon dan Maluku Utara yang beribukota di Ternate. Pemuda Sanana itu bahkan belum pernah berkunjung ke Ternate.

Hanya melihat Ternate dari kapal dalam pengalaman pertamanya melakukan perjalanan ke Manado. Hanya pernah menginjakkan kaki di tanah Ternate saat kapal berlabuh di Pelabuhan Ahmad Yani.

Mungkin usianya 20 tahun. Sudah lulus SMA.

***

Perjalanan-perjalanan membuat saya sering disebut “Perempuan Jawa”. Menjadi “perempuan” merupakan suatu arti sendiri. Perempuan yang bepergian jauh ke ujung tanah air, sungguh suatu hal yang menarik perhatian. Lantas “Jawa” adalah sebuah tempat yang menjadi pusat kemajuan, pembangunan, dan pusat kekuasaan di Indonesia. Tempat yang jauh sekali.

Perjalanan ke beberapa pulau di luar ibukota Maluku dan Maluku Utara ini membuat saya mengerti bahwa banyak orang yang tidak pernah memimpikan untuk sampai ke Jawa. Mungkin berjuta-juta orang Indonesia di ribuan pulau kecil itu begitu.

Pemuda Sanana itu, memimpikan untuk kelak menginjakkan kaki ke Ternate, sebuah kota yang ramai dan modern. Dia tidak ingin ke Ternate untuk kuliah, karena tahu orang tuanya tak mampu membiayai. Dia hanya ingin pergi dari pulaunya yang sepi.

Perempuan Jawa. Sebutan itu tergores dalam hati saya. Terutama ketika seorang yang mengatakannya menatap wajah untuk membayangkan dimanakah gerangan Jawa itu. Seperti apa bayangan seorang yang belum pernah ke Jawa tentang negeri bernama Indonesia itu. Saya pun ingin membayangkannya.

***

Tidak ada komentar: