Sewaktu kecil, Fitri bukanlah monster.
Dia anak kecil manis berwajah selalu serius. Rambutnya selalu rapi. Panjang, dikepang dua. Wajahnya dihiasi kacamata.
Sesuai dengan kesukaannya membaca. Belajar.
Kamarnya sangat rapi. Meja belajarnya sangat rapi.
Buku-bukunya tertata rapi. Semua pinsil dan pinsil warna selalu diserut secara
teratur. Tempat tidurnya bersih. Sepatu-sepatunya bersih dan tertata rapi di
rak. Baju-bajunya tersimpan rapi.
Fitri sangat rapi.
Itu membuat kakak perempuannya menjadi sebal
kepadanya. Mengganggunya dengan membuat sesuatu jadi berantakan di kamar
adiknya.
Fitri selalu merapikannya lagi. Lagi. Dan lagi.
***
Menurut ibunya, disiplin dan pantang menyerah itu
modal untuk kesuksesan. Fitri ingin jadi orang sukses. Perempuan yang hebat.
Tantangan dari kakak perempuannya yang pesolek dan pengganggu itu baginya merupakan
jalan untuk menjadi anak yang hebat. Di sekolah pun dia sering diganggu oleh
anak-anak yang jahil. Membuat penghapus miliknya jadi kotor. Mengambil begitu
saja pinsil warnanya dan mematahkannya. Menjatuhkan penggaris ke lantainya.
Fitri akan bersabar. Di rumah dia akan mencuci dan
mengeringkan penggarisnya. Akan menggosokkan penghapusnya ke kertas bekas yang
putih agar bersih lagi. Menserut pinsil-pinsilnya. Menyimpannya dengan rapi.
Duduk di kursi belajarnya dengan duduk tegak dan
jarak antara mata dan buku di atas meja sekitar 30 cm.
Fitri sangat percaya diri.
Ibunya selalu memuji-muji dirinya. Itu akan
membuat Fany –kakak perempuannya yang pencemburu- kemudian mengotori sesuatu
miliknya. Tapi Fitri akan membersihkannya lagi. Ibu guru suka memuji-muji
dirinya. Rajin. Pandai. Patut dicontoh. Anak perempuan pencemburu teman
sekelasnya akan mencibirkan bibir dan menghasut teman-teman lain untuk
menjauhinya. Anak-anak lelaki tertawa-tawa sambil melihatnya dari jauh. Anak
lelaki dengki akan mencoba menggentarkan hatinya dengan mengancam.
Anak seunggul Fitri pastinya mendorong orang-orang
yang cemburu untuk menjadi musuhnya.
Fitri tetap percaya diri. Bahwa dirinya akan
sukses sejak anak-anak sampai masa dewasa kelak. Kesuksesan yang diraih dengan
disiplin. Ketekunan. Ketabahan. Sukses di masa kecil adalah memiliki
nilai-nilai bagus. Sukses di masa dewasa adalah memiliki pekerjaan bagus.
Jabatan. Penghasilan tinggi. Itu yang dipahaminya apabila mendengar
perbincangan orang dewasa. Orang tua dan saudara-saudaranya. Semua orang dewasa
yang pernah ditemuinya. Mereka akan mengatakan seorang anak hebat dengan
menanyakan terlebih dahulu “Rapotnya
bagus enggak? Nilainya berapa?”
Mereka akan mengatakan si anu hebat, sudah menjadi orang kaya. Sudah
menjadi anu.
Fitri tidak mau kelihatan kalah.
Selalu menunjukkan wajah percaya diri. Saat
anak-anak perempuan yang iri hati padanya sebagai anak emas guru mengeroyoknya,
dia tetap menegakkan wajah. Saat anak lelaki berwajah jelek itu mencegatnya dan
mengancamnya karena tidak memberi contekan, dia menguatkan hatinya untuk tidak
menangis.
Ketika salah satu buku koleksi Ensiklopedia
kesayangannya penyok karena dibawa tidur kakak perempuannya, dia juga bersabar
mencoba memperbaikinya dengan selotip.
Saat kakak perempuannya melemparkan buku cerita
miliknya ke atas tempat tidur, meminjam tanpa ijin, mengembalikan dalam keadaan
tidak sebaik semula, Fitri hanya menatap ke arah kakaknya dengan tegar. Melihat
senyum mengejek di wajah orang yang selalu mengganggu dirinya dengan sebutan
“Anak aneh”.
Anak aneh yang dimaksud kakaknya adalah tidak
punya teman. Menghabiskan waktu di meja belajar. Membaca. Menghafal.
***
Sekian puluh tahun kemudian Fitri sudah menjadi
boss.
Anak buahnya banyak. Orang Indonesia semua.
Atasannya cuma segelintir orang asing. Fitri sering duduk di antara mereka.
Berbicara Bahasa Inggris. Sesekali Perancis. Kalau pegawai masuk ke dalam
ruangan, akan tertunduk-tunduk menerima perintah-perintah darinya. Bahkan
menerima makian atas kesalahannya.
Kemudian dia akan mengatakan betapa bodohnya
pegawai yang membuat kesalahan itu. Betapa malasnya office boy yang seharusnya setiap pagi langsung menyediakan teh di
atas mejanya tanpa harus ditanya lagi. Atau genitnya sekretaris yang semakin
lama semakin pendek roknya. Boss-boss hanya tertawa mendengar keluhannya. Fitri
membuat mereka bisa bersantai karena segala hal sudah dikerjakannya
sekeras-kerasnya.
Fitri selalu mendapatkan apa pun yang
diinginkannya dari Boss Amerikanya. Keinginan Fitri memang selalu untuk kepentingan
atasannya. Apakah harus memindahkan si anu. Memberhentikan seseorang. Atau
tidak memberikan bonus sebagai pelajaran supaya para karyawan mengerti bahwa
bonus itu mereka dapat karena kerja keras mereka sendiri. Ada bonus akhir tahun
kalau mereka bekerja keras.
Yang menentukan apakah mereka bekerja keras atau
tidak adalah Fitri.
***
Fitri membenci fesbuk
yang katanya merupakan gangguan bagi kinerja di kantornya. Membuatnya sakit
kepala memikirkan bahwa para karyawan mencuri waktu dengan membuat status di
saat jam kerja. Menyembunyikan handphone
di bawah meja untuk membuka fesbuk dan
ketawa-ketawa. Sungguh bayangan yang dibencinya.
Fitri tidak punya fesbuk. Maksudnya, Fitri tidak punya teman untuk berfesbuk. Dia membuka account dengan nama dan foto samaran. Berteman dengan orang-orang
yang tak dikenalnya hanya untuk tahu bagaimana cara kerja fesbuk.
Membayangkan karyawannya berteman di fesbuk sangat menjengkelkannya. Apalagi
membayangkan mereka membuat status tentang dirinya, bisa membuatnya jadi
marah-marah tanpa sebab. Sebuah kebiasaan yang sering dilakukan orang-orang.
Kampungan. Snob. Begitu gerutunya.
Sekretarisnya yang cantik dan punya kaki bagus yang suka dipamerkannya dengan
memakai rok mini itu paling dicurigainya.
Ada saja alasan Fitri untuk membuat Nita,
sekretaris itu, memiliki hari buruk. Entah itu catatan rapat yang buruk. Atau
surat yang kalimatnya keliru. Informasi telepon dari klien yang disampaikan
Nita ternyata misleading. Atau sekretaris
itu mendapatkan omelan karena “tidak
bisa memahami perintah yang begitu jelas dan sederhana”.
Boss bulenya mengedipkan mata kepada si
sekretaris. Mengatakan kepada Fitri
bahwa kesalahan seperti itu memang tidak perlu terulang lagi.
Boss tahu perlunya membuat Fitri merasa nyaman.
Menikmati harinya dengan bekerja sekeras-kerasnya. Puas atas dirinya. Kekuasaan
yang sepenuhnya diberikan majikan yang bisa menyisihkan waktu santai di kantor
untuk membuka-buka halaman fesbuk
anak-anak dan istrinya. Serta keluarga dan sahabat-sahabatnya di Amrik.
Sekretaris itu mendapat bisikan di telinganya dari
boss yang lewat. “Don’t take it too
serious...” Sambil mengedip-ngedipkan matanya.
***
Ibu Ratu. Begitu para bawahan menyebutnya.
Tidak seorang pun berani mengatakan “Tapi, Bu....” untuk mengatakan bahwa apa
yang dikatakan Ibu Ratu itu tidak benar. Sebab seketika itu juga nasib buruk
akan menantinya. Masih lumayan kalau hanya mendapatkan makian atau teriakan.
Lebih buruk lagi bila kehilangan pekerjaan.
Ibu Ratu selalu benar. Bahkan boss pun selalu
membenarkannya. Apa pun yang dikatakan dan dilakukan Fitri selalu benar menurut
Boss karena memang selalu untuk kepentingan dirinya. Bahkan boss mengatakan
dengan logat bulenya: ”Ini kantor bukan
tempat pesta, Nita... pakailah baju yang lebih cocok...” Sambil mengedipkan
sebelah mata kepada sekretarisnya di belakang punggung Fitri.
Sekretaris itu membuat status di bawah mejanya. “Monster gila... ke laut aje...” Tidak berapa lama kemudian banyak teman-teman
kerjanya yang merespon “like”.
***
Sewaktu kecil, kedua orang tua Fitri mampu
memberikan kamar untuk setiap anaknya.
Kamar Fitri didekorasi dengan cantik. Meja belajar dan rak buku
mendominasi kamarnya. Koleksi buku cerita yang merupakan kemewahan bagi
masyarakat di Indonesia, merupakan milik yang paling dicintai Fitri.
Kamar itu memiliki semua hal yang diperlukan anak.
Tivi kecil. Radio tape. Suatu kemewahan masa itu bila seorang bisa memiliki
untuk dirinya di kamarnya sendiri.
Namun di kamar Fitri tidak pernah ada teman yang
menginap.
Teman-teman Fany sering ribut di dalam kamarnya,
tertawa-tawa membicarakan anak lelaki yang ditaksir, menggosipkan guru dan
teman perempuan, berdandan, dan merencanakan jalan-jalan ke mall.
Mereka menganggap Fitri anak aneh karena tidak
punya teman. Tidak bosan menekuni buku pelajaran. Fitri mendengar sama-samar
mereka berbicara. Kutu buku. Kuper.
Anak aneh.
Baru pertama kali itu dia menangis.
Menangis karena tidak punya teman.
***
Apa gunanya teman kalau mereka menghalangimu untuk
mencapai sukses?
Membuatmu membuang waktu untuk berkumpul,
bergunjing, melakukan hal-hal yang kurang berguna. Begitulah Fitri kemudian
menyimpulkan.
Suksesnya sekarang sebagai boss merupakan buah
dari kerja kerasnya. Sekolah ke Luar Negeri hasil dari menabung, mungkin tidak
bisa dilakukannya bila punya banyak teman yang akan membuatnya
menghambur-hamburkan uang.
Beberapa perempuan Indonesia di kantornya
dianggapnya sebagai teman. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jabatan –tentu
di bawahnya- sehingga bisa dijadikan teman. Tapi, sebaliknya mereka merasa
bahwa Ibu Ratu bukanlah teman yang sesungguhnya.
Ibu Ratu mengundang mereka untuk “mencoba masakan
buatannya” dan mereka tentu saja harus hadir untuk memuji-muji keahliannya
memasak. Mengagumi rumahnya yang cantik dan perabotannya yang berselera tinggi.
Taman yang terawat rapi. Kolam renang yang biru dan nyaman untuk membuat pesta
kebun.
Pesta kebun dengan siapa? Itu masalahnya.
Bagi ketiga kolega perempuan itu, menghabiskan
waktu 2 jam di akhir pekan di rumah Ibu Ratu merupakan mimpi buruk. Namun
mereka menunjukkan wajah dan ucapan senang telah diundang ke rumahnya.
Berbincang dalam keakraban yang dibuat-buat.
Fitri bukannya tak tahu.
***
Hari itu terjadi bencana
yang dasyat di kantor.
Ibu Ratu murka pada semua hal. Semua orang. Mengancam. Berteriak.
Menakut-nakuti semua orang tentang perampingan karyawan. Tentang kinerja
perusahaan. Tentang pemalsuan absensi. Tentang pakaian dan disiplin.
Hal ini bermula dari
obrolan bawahannya tentang sang sekretaris yang akan mengundurkan diri dari
perusahaan. Memang gosip itu sudah beredar beberapa waktu sebelumnya. Fitri tak
mengindahkannya.
Gosip itu sekarang berubah
menjadi informasi bahwa Nita berhenti bekerja karena dirinya serius menjalin
hubungan dengan seseorang dan akan segera menikah. Kejutannya adalah pria yang
menjadi calon suaminya itu ternyata salah seorang manajer muda yang merupakan
orang dekat boss besar karena berasal dari negara yang sama.
Inilah yang menjadi sumber bencana.
Ibu Ratu yang membenci sekretarisnya –karena berani
menentang wajahnya itu- merasa terpukul dengan kabar itu. Menjadi marah karena
selama ini dirinya mencoba meyakinkan boss bahwa sekretaris yang lelet dan
tidak becus bekerja itu mungkin perlu dipindahkan jadi staf administrasi karena
mereka harus mencari yang lebih kapabel. Boss selalu mengatakan untuk memberi
waktu dulu.
Sekarang Ibu Ratu mendapat informasi bahwa
sekretaris yang berani melawannya itu akan melangsungkan pernikahan dengan
orang Amerika muda yang meskipun jabatannya di bawah dirinya namun sebagai bule
tetap seperti dekat dengan boss atasannya.
Amarah Fitri hari itu menimpa seisi kantor.
Dalam hati orang-orang menertawakannya. Perempuan
gila kekuasaan yang tak pernah berkencan. Bahkan tidak berteman.
Hari itu para karyawan riuh-rendah membuat lelucon
di fesbuk tentang Ibu Ratu yang
pastinya harus memakai topeng tersenyum saat menghadiri pernikahan Nita.
Fitri bukannya tak tahu kapan dia dijadikan
sasaran di fesbuk. Walau dia tidak
tahu apa itu yang dikatakan karyawan-karyawannya. Forum gosip. Tak berguna.
Norak.
***
Fitri memasang foto dirinya yang paling cantik.
Berlatar belakang Paris. Sebagai profile
picture di fesbuk. Secara teratur
dirinya memasang foto tempat-tempat mewah yang disinggahinya. Negara-negara di
Eropa. Amerika. Mekah. Mesir.
Sejak dirinya tampil di fesbuk dan semua bawahannya dimintanya untuk meng-invite dirinya, fesbuk menjadi tempat yang sepi. Para karyawan jarang berkumpul
lagi di forum itu karena jarang ada yang membuat status lucu untuk mengundang
semua orang berkomentar.
Sementara Fitri cukup rajin mengupload sesuatu yang baru. Musik. Film.
Buku. Foto-foto yang dijepretnya sendiri di tempat-tempat yang selalu baru.
Fitri menjadi senang kepada fesbuk yang berhasil ditaklukkannya.
Kalau dia membuat status, pegawainya akan berpikir
keras apakah akan berkomentar ataukah tidak. Apakah akan me-like. Paling-paling tiga orang perempuan
yang dianggapnya teman di kantor itu yang berani berkomentar: “Keren, Bu...” Akhirnya banyak yang lebih memilih tidak aktif
lagi di media jejaring sosial itu.
***
Fitri menikmati dirinya menjadi teror.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar