Kamis, 27 Desember 2012

Nina

Sahabatku, Nina, hanya tersenyum saja.
Aku tahu ia menyembunyikan perasaannya. Tidak ingin kelihatan kejujuran hatinya. Sebab kejujuran itu bisa menjadi kesalahan besar.
Kamu merasa biasa saja menghianati suamimu. Kamu merasa biasa saja berniat menjadi istri simpanan suami orang. Kamu merasa biasa saja menjadi pengganggu rumah tangga orang. Mengganggu Bapak dari anak-anaknya. Suami dari istrinya.
Aku mengerti isi hati Nina meskipun tidak ada yang dikatakannya.  Tidak ditunjukan perasaan apa-apa di wajahnya.  Tidak menampakkan dirinya yang sebenar-benarnya.
Aku datang bukan atas permintaan dia.
Suaminya lah yang datang padaku. Suaminya bilang bahwa istrinya, Nina, sahabatku sejak kanak-kanak, sangat membutuhkan bantuanku sekarang. Aku bertanya, memangnya ada apa. Suaminya mengatakan, datang saja ke rumah.
Aku ikut dengannya. Ke rumahnya.
***
Pertama-tama aku dibawa singgah ke rumah Pak RT.
Pak RT di lingkunganku adalah pria yang masih muda dan cukup menganggur sehingga mau jadi RT. Atau sudah tua sehingga juga benar-benar menganggur dan mengharap sedikit penghasilan untuk sekedar membeli rokok.
RT yang ini masih muda dan cukup menganggur. Tidak terpelajar. Pekerjaannya membantu istrinya yang berdagang nasi untuk para buruh bangunan yang sedang membangun hotel dan pegawai-pegawai yang bekerja di mall.
Aku seorang terpelajar dan Pak RT tahu itu sehingga sikapnya sangat hormat. Aku katakan padanya bahwa aku berteman dengan Nina sejak kecil dan kami lebih tua cukup banyak dari Pak RT. Kami penghuni asli perkampungan ini dan Pak RT adalah pengembara dari Jawa Timur sana yang ketemu jodoh di sini dan menikahi anak mbok penjual nasi yang kemudian meninggal dan mewariskan usahanya kepada anak perempuannya, istri Pak RT itu.
Pak RT yang logat bicaranya masih sedikit medok itu menundukkan kepala. Aku bilang bahwa sebelum Pak RT ada di tempat ini, kakek moyangku adalah penduduk asli. Aku lahir di suatu kampung yang pernah ada di tempat ini. Kampungnya sekarang sudah hilang lenyap dan Pak RT tidak tahu sama sekali bahwa warung nasinya itu berdiri di atas lahan yang dulu ditanami mentimun dan ubi jalar sebagai pembatas dengan sungai kecil  supaya tidak longsor. Sungai itu sekarang ada di antara dua dinding tembok bangunan dan tidak kelihatan lagi, tersembunyi di antara bangunan. Oh, tentu Pak RT tidak tahu sama sekali. Sekarang wilayah ini sudah menjadi bangunan-bangunan beton, hotel, mall, supermarket, toko-toko,  kampus, klinik, warung-warung makan, rumah-rumah bertingkat untuk tempat kost, dengan latar belakang  perkampungan yang berdesakan. Sebuah sungai yang lebih besar –katanya anak Sungai Cikapundung-  membelah dua wilayah menjadi kawasan bisnis dan real estate di depan, serta kawasan perkampungan di belakang. Tak ada lagi pepohonan yang hijau menyejukkan. Tak ada lagi kilau air dari sawah-sawah yang terhampar luas. Sungai yang mengalir deras itu sudah menjadi genangan air penuh sampah. Di antara dua wilayah itu dibatasi oleh benteng tinggi yang ingin menutupi pemandangan kampung dari perumahan mahal, hotel, dan mall. Pemilik hotel dan mall tentunya juga tidak mau tamunya melihat pemandangan sungai ini.
Aku bercerita tentang itu semua untuk mengatakan bahwa aku penduduk asli kampung ini, aku dan Nina adalah teman sejak kanak-kanak, dan sekarang banyak warga masyarakat –termasuk Pak RT– adalah pendatang yang tidak tahu masa lalu kampung ini.
Lalu aku mengatakan bahwa aku akan mengantar Nina pergi dari kampung ini. Pak RT menganggukkan kepala dan mengirim SMS kepada Ustadz Nanang supaya datang.
Ketika Ustadz Nanang datang dan usianya kelihatan lebih tua dariku, aku menceritakan kembali masa lalu kampung ini. Ternyata Ustadz Nanang bukan penduduk asli kampung ini,  berasal dari sebuah desa di Tasikmalaya dan bertemu jodoh di sini. Aku pun mengatakan kepada Ustadz Nanang bahwa aku kenal tanah di kampung ini, aku tahu yang sekarang menjadi mall dulunya apa, bangunan-bangunan restauran, pusat kebugaran, dealer mobil dan supermarket itu dulunya apa. Ada rumah tukang roti yang setiap pagi menebarkan wangi lezatnya roti yang sedang dipanggang. Ada rumah-rumah panggung berjajar di sepanjang sungai yang dipagari rumpun bambu. Ada pembuat kue odading yang menjadi salah satu makanan sarapan pagi. Ada keluarga pembuat kerupuk jajanan anak-anak. Ada keluarga pembuat tembikar untuk keperluan rumah tangga seperti gentong, piring, dan cangkir. Ada orang Cina –juragan bemo- yang menikah dengan perempuan Jawa dan memungut 3 orang anak Sunda karena mereka tidak punya keturunan. Ada Ustadz yang terkenal karena bisa menyembuhkan orang yang sakit. Ada Pak Haji Dadang, juragan bako (tembakau) yang menjadi asal usul keluargaku.
Sewaktu kecil aku hidup di antara jemuran tembakau yang menghampar coklat di halaman rumah kami yang luas, ditumbuhi 2 batang pohon lengkeng, pohon jambu, pohon sirsak, dan pagar hidup dari semak beluntas. Lahan keluargaku itu sekarang menjadi sebuah kampus setelah dijual karena bagi waris. Namun masih ada orang-orang yang belum lupa bahwa keluargaku memberikan wakaf tanah untuk jalan dan mesjid kecil yang sampai saat ini masih ada. Aku sendiri tinggal di perumahan baru, tidak jauh dari kampung lama.
Istri yang dinikahi Ustadz Nanang berasal dari keluarga pembuat odading. Aku katakan pada Ustadz Nanang bahwa waktu kecil setiap pagi aku membeli odading ketika nenek dari istrinya itu masih hidup. Aku senang menontoni perempuan berbadan besar dan berwajah sedikit indo itu ketika sedang menggoreng bulatan-bulatan kue dari terigu itu.
Ustadz Nanang teringat cerita tentang mesjid yang menjadi tempatnya mengajar mengaji adalah pemberian dari Haji Dadang, seorang juragan bako. Jadi, dia sedang berhadapan dengan salah satu cucunya. Aku mengingatkannya.
Pak Ustadz menundukkan kepala.
Aku mengatakan padanya bahwa aku akan mengantar temanku sejak kanak-kanak, Nina, untuk pergi meninggalkan kampung ini. Pak ustadz menganggukan kepala.
Setelah meninggalkan rumah Pak RT, aku berjalan melewati rumah-rumah. Sejumlah perempuan memperlihatkan diri dari dalam rumah. Aku menyapa dan menyalaminya. Aku menyebutkan namaku dan keluargaku, barangkali mereka ingat-ingat lupa. Beberapa perempuan tua berlinang air matanya. O alah, aku tahu kamu waktu masih kecil. Katanya sambil memegang lenganku. Mungkin itu yang menyebabkannya terharu. Dulu aku masih kecil dan dirinya tentu masih muda. Aku pun nyaris tidak mengenalinya lagi karena wanita itu sudah tua sekarang.
Aku tahu di jendela sesosok bayangan berdiri.
Kuketuk pintu, dan seorang perempuan membuka pintu. Aku tersenyum padanya dan masih bisa mengingat wajahnya meskipun sudah puluhan tahu tak bertemu. Dia kakak perempuan tertua dari salah satu teman masa kanak-kanakku di kampung ini.
Kemudian aku masuk dan duduk di ruang tamu yang penuh barang itu. Mungkin karena terlalu sempit sehingga terlihat terlalu banyak barang. Lalu aku bertanya tentang adik perempuannya –temanku waktu kecil itu– dan aku pun bercerita kenangan-kenangan masa kecil di kampung ini.
Aku pun bertanya tentang keluarga perempuan yang sedang aku kunjungi ini. Dia berbahagia karena anak-anaknya sudah menemukan jodoh masing-masing dan bekerja. Sekarang dirinya dan suaminya menikmati masa pensiun berdua saja. Perempuan ini seorang guru, itu sebabnya dirinya sangat tahu apa yang baik dan benar. Perempuan ini mewakili keluarganya yang menjadi salah satu kelompok orang yang paling vokal dalam menyerang orang yang menjadi musuh keluarganya.  Kemudian karena Bu Guru pandai bertutur, Nina dijadikannya sebagai musuh masyarakat. Melalui kampanyenya.
Aku mengatakan kepada perempuan pensiunan guru ini bahwa aku akan mengantarkan Nina pergi meninggalkan kampung ini. Aku mengingatkan Bu Guru ini bahwa kami berteman sejak kanak-kanak, aku dan adik perempuan Bu Guru itu.
Keluargaku dihormati di kampung ini. Aku pun rupanya dihormati oleh Bu Guru ini yang memandang wajahku secara lunak, tidak segarang yang dikatakan Pak RT bila dia sedang berbicara tentang persoalan Nina. Bu Guru tidak berbicara apa pun.
Maka aku pun pamit dan mengucapkan salam.
***
Nina sedang mengemasi pakaiannya.
Anak perempuannya, si sulung yang sudah kuliah di sebuah kampus swasta untuk belajar program komputer, mengatakan pada ibunya untuk tidak membawa semuanya sekarang karena sisanya dia yang akan mengantarkan. Adik lelakinya, seorang anak SMP yang bertubuh bongsor seperti anak SMA kelas 3, duduk termangu melihat adegan ibu dan kakak perempuannya. Aku melihat suaminya duduk di kursi yang ada di dapur sambil menghisap rokok. Tubuhnya ceking, wajahnya muram.
Suasana menjadi hening karena semua orang bicara dalam hatinya.
“Buatkan kopi untuk Tante Ineu....” kata Nina pada anak perempuannya. Anak perempuan itu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Aku mengikutinya ke dapur. Adik lelakinya mengikutinya ke dapur. “Kamu tahu apa yang terjadi dengan ibumu?” Tanyaku. “Tahu, Tante...” Kata Nola, anak perempuan cantik yang berwajah tidak mirip ibunya itu, dengan suara lirih.  “Apa yang terjadi, Nola?” Tanyaku.
“Masyarakat di sini marah dan membenci ibu. Mau mengusirnya dari kampung ini. Mau mengadilinya... Mau menghukum ibu...” Katanya. Terngiang kembali ucapan-ucapan Pak RT di telingaku bahwa keluarga Bu Guru ingin Nina mengakui dosa perselingkuhannya dengan salah satu anggota keluarga itu, adik ipar Bu Guru. Suami adik perempuannya, tapi bukan yang teman sebaya masa kecilku. Keluarga itu ingin ada sidang pengadilan bagi Nina.
“Bukan masyarakat, Nola... Tapi Bu Guru Ami dan beberapa ibu-ibu....” Kataku. “Apa yang dikatakan perempuan-perempuan yang suka bergosip itu tidak benar....” Aku tidak tahu apakah aku sedang bicara benar atau sekedar menolong anak-anak Nina.
Aku menyentuh pundak Nola. Anak perempuan itu memelukku dan menangis terisak. “Tante Ineu...” katanya dengan suara serak. “Bawa Ibu pergi dari sini....”  Aku meminta sang adik lelaki –Naufal–  mendekat. Aku memeluk keduanya.
Bapak kedua anak itu tidak berbicara apa-apa. Pergi meninggalkan dapur. Melangkah ke luar rumah dan entah kemana.
***
Nina berangkat dari rumahnya.
Aku melihat Ustadz Nanang dan Pak RT berdiri di jalan. Aku melihat beberapa orang berdiri di depan rumahnya. Aku merasa sejumlah orang berdiri di depan jendela di dalam rumahnya.
Mereka melihat Nina berjalan membawa kantong pakaiannya. Aku berjalan di sisinya. Kedua anaknya berjalan di belakang ibunya. Suaminya berjalan di belakang anak-anaknya. Suasana hening karena semua orang berbicara dalam hatinya.
Kami hanya harus segera sampai ke ujung jalan.
Sebelum sampai ke ujung jalan, anak-anak tegang dan berkeringat. Bagaimana kalau Bu Guru meneriakkan kemarahannya dan mencegat ibunya. Bagaimana kalau kemudian orang-orang terpancing dan kemudian menjadi kerumunan massa.
Bagaimana kalau penghukuman kepada ibunya dilakukan?
Hanya dibutuhkan beberapa menit untuk sampai ke ujung jalan.  Beberapa menit yang terasa lama. Airmata Nola mengalir di atas pipinya, berjatuhan di atas jalan. Adiknya merangkul bahunya. Wajah anak lelaki itu menatap berkeliling ke arah orang-orang dengan tatapan mata rendah hati namun teguh.
Anak yang pintar.
***
Dalam perjalanan, kami lebih banyak diam membisu. Berbicara dengan hati masing-masing. Aku mengantarkan Nina ke Stasiun Kiaracondong.  Kereta api akan mengantarkannya ke rumah adik perempuannya. Nina akan tinggal sementara bersama keluarga adik perempuannya sampai dia tahu harus kemana lagi.
Nina memeluk aku ketika sebelum dia melangkah pergi ke dalam stasiun. “Nuhun pisan, Neu...” (Terimakasih banyak) Katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku melihatnya melangkah pergi. Tegar.
***
Waktu itu aku dan Nina masih sangat muda.
Keluargaku tidak senang atas pertemananku dengannya. Aku dan Nina senang berteman satu sama lain sehingga larangan itu tak kuindahkan. Nina bilang dia ingin menjadi aku. Aku ingin menjadi Nina.
Menjadi Nina adalah menjadi perempuan muda yang baru mekar, cantik, berkaki indah, dan selalu penuh gelora petualangan asmara di dalam sekujur tubuhnya.  Caranya berjalan. Caranya melirik. Caranya tertawa. Semua memberitakan dengan jelas jiwa dan perasaannya yang erotis. Jarang terbebani oleh pikiran yang mendalam. Nina menimbulkan rasa jengkel perempuan yang melihat para pria mudah ditaklukkan oleh kecantikannya yang menggoda. Nina menimbulkan antipati pria-pria yang sopan.
Nina mudah saja membalas sentuhan pria yang disukainya, menghindar pria yang tidak diinginkannya. Nina mudah saja menerima atau menolak rayuan lelaki.
Lelaki tergila-gila pada kecantikannya. Tidak peduli apa kata orang bahwa perempuan itu bekas si anu, si anu dan banyak lagi nama yang disebutkan.
Sampai suatu ketika Nina menikah dengan Erwin. Seorang pria berwajah manis dari keluarga yang baik, keluarga kelas menengah dan terpelajar. Erwin tidak mengindahkan apa kata keluarganya tentang calon istrinya “yang cantik tapi kampungan” karena terbuai oleh cinta yang membuatnya menggambarkan Nina sebagai gadis sederhana, asli, lembut hati,  ibarat seorang “Upik Abu”, puteri yang hidup di kampung sebelum ditemukannya.
Kampung itu kehilangan legendanya tentang perempuan segar-muda yang ingin menguasai semua lelaki. Nina pergi diboyong suaminya.
Lima belas tahun kemudian dia kembali lagi, menempati rumah peninggalan orang tuanya. Suaminya menjadi pria yang kurus, tua, dan menjemukan. Nina menjadi wanita matang yang tetap cantik, langsing, dan penuh antusias.  Hidup dalam kesulitan ekonomi karena suaminya seorang pegawai yang tidak pernah menanjak ke atas, tidak dapat memadamkan sifatnya yang menyala-nyala dan selalu berbicara ramai. Juga tidak mengubah kesukaannya pada warna-warna cerah pakaiannya.
Bertemu lagi dengan pria yang pernah bercinta dengannya di masa lalu. Nina terjerat pada situasi yang menghidupkan ingatan orang terhadap reputasi dirinya di masa lalu. Bu Guru Ami tak akan lupa itu. Sejumlah orang yang hidup sejak kanak-kanak di kampung ini juga menggeliat kembali ingatannya.
Salah satu pria yang pernah menjadi mantan pacar Nina adalah suami adik perempuan Bu Guru Ami. Juga suami beberapa perempuan lain. Para perempuan ini jadi mudah terbakar kampanye Bu Guru Ami tentang “perempuan pengganggu suami orang itu”.
Suasana memanas karena sifat dan sikap Nina yang tak peduli, Menuruti kata hatinya, mengikuti hasrat masih memiliki kecantikan yang dipuja lelaki. Paling tidak lelaki-lelaki yang usianya setengah baya seperti dirinya.
Bu Guru Ami menantang Pak RT untuk mengadili Nina atas perselingkuhannya dengan suami adik perempuannya.
Perempuan-perempuan itu bersatu dalam amarah dan nafsu balas dendam terhadap perempuan separuh baya yang menjadi fokus perhatian para suami mereka yang juga sudah tak muda. Tergoda untuk memiliki hasrat nakal karena perempuan yang memberikan senyuman dan lirikan memikat itu, masih cantik dan semampai.
Begitulah wujud Nina dalam pandangan perempuan-perempuan di lingkungannya yang serentak bersatu dalam sikap permusuhan yang semakin memuncak dari waktu ke waktu melalui peredaran gosip yang biasalah pasti berisikan hal-hal yang dibesar-besakan.
Katanya Nina berbicara dengan Pak Anu dan kelihatan berdekatan mesra. Katanya Nina juga berbicara dengan Pak Bejo, dan dia ketawa mendengar apa yang dikatakan Pak Bejo seraya mencolek tangannya. Katanya Pak RT dan istrinya bertengkar karena ulah Nina begini begitu. Perempuan itu meminta Pak RT mengurus KTPnya.
Akhirnya, Bu Guru Ami tak tahan lagi. Karena Pak Bejo adalah suaminya. Karena gosip santer yang “terbukti benar” adalah tentang adik iparnya –mantan pacar Nina- telah beberapa kali bertemu di suatu tempat dengan perempuan itu.
***
Dua tahun kemudian. Setelah Nina meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Nola, anak perempuan Nina berkunjung ke rumahku. “Apa kabar ibumu?” Tanyaku. Nola menceritakan bahwa ibunya menjadi istri simpanan seorang lelaki yang pernah menjadi pacar masa sekolahnya. Lelaki itu sekarang memiliki jabatan yang lumayan di sebuah instansi pemerintah.
“Aku cuma seorang anak, Tante. Aku tidak bisa melarang Ibu...” Kata Nola. Aku melihat wajahnya. Mata yang selalu sedih sejak masa kecil. “Ibulah yang harus membiayai sekolah aku dan Naufal sejak Ayah menikah lagi....”
Anak yang pintar. Membela ibunya. Nola menjelaskan bahwa ibunya tidak pernah mengganggu “suami orang” seperti yang dituduhkan para tetangga. “Suami orang” yang sekedar benostalgia masa lalu dengan ibunya, mendekat dan menyapa. Tapi tak lebih dari itu. Setelah bercerai dari ayahnya, barulah ibunya menjalin hubungan dengan seorang mantan. Menjadi istri “simpanan”. Atau orang menyebutnya sebagai istri siri.
Aku membayangkan gerak tubuh Nina. Aku membayangkan pandang mata pria padanya. Pada betisnya yang menopang kaki ramping berbalut celana ¾ sehingga membuatnya seperti perempuan yang masih muda. 
 “Nola, kamu tidak harus seperti ibumu, menikah terlalu muda, cepat punya anak, dan jadi perempuan rumahan yang mengharapkan masa depan pada seorang suami, lelaki, dan bukan pada diri sendiri....” Kataku dengan nafas sedikit terengah. “Kamu pernah menjadi juara Olimpiade Fisika ketika masih di SMA. Kamu anak yang pintar di sekolah. Sekolah terlalu sulit buat ibumu yang sampai kelas 3 SD baru bisa membaca. Setahu aku ibumu ingin kamu sekolah dan bekerja....”
Aku memegang bahu Nola. “Kamu harus selesaikan kuliahmu. Jangan menikah sebelum kamu lulus dan punya kerja...” Sepertinya aku menekannya agak keras karena Nola seperti terkejut. “Ya, ya, Tante...” Katanya terbata-bata.
***
Saat aku melihat Nola, aku teringat ibunya dan kenangan pertemanan kami di masa lalu. Nina membujuk pria untuk memberanikan diri merayuku dan memberiku pengalaman cinta. Meyakinkan mereka bahwa aku tidak sekaku dan segalak penampilanku.
Kamu memang bersal dari keluarga haji yang dihormati di sini, tapi kamu mau tahu dan merasakan ciuman dan cumbu lelaki kan? Kamu ingin pelan-pelan disentuh, tangan, lengan, dan pundakmu. Kamu suka lelaki itu kalau melakukan hal kurang ajar, memaksamu, dan membuat kamu terpojok, tak bisa menolak....
Nina tahu rahasia dalam hatiku meskipun itu tak dikatakan. Aku tersenyum teringat hal itu. Sia-sia. Pria menjadi malu untuk memaksa. Aku tak punya daya tarik seperti Nina yang bisa membutakan hati dan menimbulkan nyali melanggar batasan.
Yah, kalau bisa kami bertukar tempat. Aku menjadi Nina dengan petualangannya.  Sedang Nina menjadi aku karena dia selalu ingin menjadi perempuan yang sekolah tinggi dan memakai pakaian seperti seorang perempuan karier. Begitu katanya.
Mungkin Nola akan menjadi perempuan yang diidamkan ibunya.
***

Tidak ada komentar: