Jumat, 12 Desember 2008

Urusan Kematian

Pak RT (lupa terus namanya) menarik iuran kematian Rp 3.500. Pertanyaan bodohku kepadanya adalah: ”Kenapa ada iuran kematian?” Aku pikir, kalau ada yang meninggal tentunya setiap orang akan datang melayat dan dengan sendirinya akan memberikan uang amplop (uang duka). Sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia, seingatku sejak aku masih kecil. Pak RT lalu menjawab dengan sabar: ”Kalau ada yang meninggal, pengurus RT yang akan turun tangan menyediakan kain kafan dan segala sesuatunya. Juga mencari orang yang mengurus jenasah seperti memandikan dan menshalatkan. Kebanyakan warga di sini kan tidak saling kenal dengan tetangganya.” Aku terkesima. Hah, hiya ya. Nama Pak RT saja aku tidak tahu. Sudah terpilih sejak tahun kemarin, aku masih menyebutnya Pak RT juga tanpa tambahan nama. Sedangkan Pak RT yang lama pun masih kusebut Pak RT karena tidak tahu namanya. Walakadalah.

Jangan-jangan nanti kalau aku mati, semua kenalanku akan mengirim SMS ke handphoneku, tapi dengan kalimat yang ditujukan kepada istri dan anaku-anakku: ”Ibu Herry dan seluruh keluarga yang ditinggalkan, kami mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Bung Herry.... (dari Koko sekeluarga).” Istriku mungkin akan menjawab dengan auto replay setiap SMS: ”Terimakasih atas ucapan belasungkawanya, mohon maaf apabila ada kesalahan almarhum dan mohon doa agar diterima di sisi Allah SAW... (Tuti, Teti, dan Teddy)” Teti, anakku yang berumur 12 tahun dan Teddy, 17 tahun, juga harus membalas SMS dari teman-temannya. Sebelumnya, anak-anak atau teman dekatnya menyebarkan SMS berita kematianku. Si Teddy mengirim SMS kepada teman-teman nge-bandnya begini: ”Sorry, guwe gak bisa ikut latihan band. Bapak guwe meninggal.” Dijawab SMS oleh group band-nya: ”Kok bisa, Brur? Kan kemarin masih idup??” Dijawab SMS lagi oleh anakku: ”Babeh ketabrak motor di depan BSM tadi pagi....” Dijawab SMS lagi: ”Guwe ngelayat sesudah latihan ya. Tabah, Brur....”

Terus, berita kematianku akan beredar di dunia maya akibat perbuatan seseorang yang mengumumkannya di milist. Milist alumni perguruan tinggiku. Milist penulis Bandung, milist aktivis LSM pro-demokrasi Jawa Barat, milist otonomi desa, milist anti-globalisasi, dan milist proyek-proyek pembangunan lainnya yang merupakan ladang mata pencaharianku. Berita kematianku akan beredar di dalam dan luar negeri karena jaringan kerja programku internasional. Tidak mungkin kujawab karena aku sudah mati, sedangkan istriku kan bukan anggota milist, tidak bisa menjawabkan email-email duka cita tersebut. Tidak bisa membaca cuplikan-cuplikan kalimat in memoriam yang pasti bagus dari teman-teman dan kenalanku.

Kalau di atas cuma rekan-rekaanku tentang apa yang akan terjadi kalau aku mati ketabrak motor di depan BSM, maka yang ini kejadian betul. Temanku, Gunawan, mengirimi aku SMS: ”Kadieu, euy.... uing geuring geus sabulan diimah wae asa keueung.....” (Ke sini dong.... aku sakit sudah sebulan di rumah saja kesepian....). Aku menjawab: ”Keur di luar kota, ke balikna....” (sedang di luar kota, nanti kalau sudah pulang).


Kemudian aku lupa dengan janjiku. Terlalu banyak tugas luar. Seminggu kemudian, aku mendapat SMS dari Yanti, temanku yang rumahnya bertetangga dengan Gunawan. ”Her, si Gun maot euy... Geus ngalayat can?” (Her, si Gun meninggal..... udah melayat belum?). Aku menjawab SMS: ”Anjrit, uing poho rek kaditu. Mangkaning di SMS-an wae ku si Gun dititah datang. Geuring naon bet nepi ka maot?” (xxx, aku lupa mau ke rumahnya. Padahal sering di SMS si Gun diminta datang. Sakit apa sih kok sampai meninggal?). Yanti membalas SMS: ”Lever tapi ngarokok wae jeung momotoran….” (Lever tapi merokok terus dan naik motor).

Berbulan-bulan kemudian istriku menanyakan: ”Kok, sudah lama si Gun gak mampir kemari ya.... Biasanya datang pagi-pagi buat ngobrolin partai....” Sewaktu aku memberitahu bahwa Gunawan meninggal, istriku terperanjat dan menanyakan kapan meninggalnya. Aku bilang bulan April 2008. Istriku mengernyitkan kening: ”Waduh, aku lupa ngasih tahu kalau dia pernah ke sini mau ngobrol....” Setelah merekonstruksi waktu, ternyata Gunawan datang ke rumah seminggu sebelum meninggal. Akibat aku tidak datang juga untuk mengobrolkan tentang partai yang menjadi kegiatan penting dalam hidup Gunawan yang berniat nyaleg lagi pada Pemilu 2009. Setelah gagal pada Pemilu 2004. Sakit, tapi merasa kesal berdiam di rumah terus, dia naik motor ke rumahku yang jaraknya memang hanya 5 menit. Konon katanya, dia juga mengunjungi beberapa teman lainnya, naik motor.

Aku menyesal sekali karena tidak sempat memenuhi janjiku kepada Gunawan. Aku merenung. Mempertanyakan diriku sendiri. Seorang teman sakit, kenapa aku tidak menanyakan penyakitnya apa dan bagaimana keadaannya, apalagi datang menjenguk. Kenapa seorang teman meninggal, istriku lupa kuberi tidak tahu, apalagi diajak melayat. Seorang teman yang hampir setiap minggu mampir ke rumah dan telah mengirimiku ribuan SMS selama bertahun-tahun, sudah tidak ada lagi.

Aku sibuk mengurus program pembangunan dan malang melintang dari satu forum ke forum lainnya. Anggota forum ratusan orang, dan jutaan SMS selalu berseliweran. Teman-temanku dengan kasus sakit liver dan hepatitis lumayan banyak akibat kesibukan dan cara hidupnya seperti aku. Aku mengumumkan meninggalnya Gunawan kepada seluruh teman-teman dengan SMS dan juga milist terkait Gunawan. Kupikir istriku sudah tahu juga, padahal tentu dia di luar group milist punyaku. Dan mosok aku kirim SMS kepada istriku sendiri, begini: ”Kawan-kawan. Berita duka atas meninggalnya Gunawan Septiadi, Ketua Gerakan Muda Pemimpin Bangsa, aktivis pro-demokrasi yang tidak kenal lelah, sahabat kita dalam berjuang untuk perubahan..... Semoga almarhum dilapangkan tempat di sisi Allah SAW....” Gara-gara trend SMS dan milist.


Tidak ada komentar: