Jumat, 07 Oktober 2011

Di Bawah Pohon Rindang

Pada suatu hari, datang seorang perempuan muda ke sebuah kampung yang indah permai di Kawasan Gunung Mutis. Bukit dan lembah-lembah mengepung dari semua sudut kampung itu. Padang rumput yang luas penuh rumput dan semak berduri, dan kebun-kebun di atas tanah yang kering dan menumbuhkan jagung yang kerdil, menampilkan figur alam yang keras. Cantik seperti hutan rimba.

Walau angin sering mengancam hasil panen, namun kehidupan kampung itu serba kecukupan. Pemimpinnya tidak dianggap keras, meskipun memerintahkan acara-acara adat yang terasa berat karena hasil kebun yang minim. Lelakinya dianggap berhak memukul istrinya. Orang tua –para paman- dianggap pelindung keluarga, meskipun mereka membuat harga mas kawin (bellies) menjadi hutang seorang lelaki selama hidupnya.
***

Perempuan muda itu melakukan hal yang aneh-aneh.

Pria-pria muda belajar berbicara. Bolehkah anak-anak muda berbicara di hadapan kaum tua? Tanya perempuan muda itu.Tidak boleh, biasanya. Orang-orang muda berkata.

Perempuan-perempuan diberi waktu untuk berdiri di hadapan banyak orang. Bolehkah perempuan hadir di dalam musyawarah adat? Tanya perempuan muda itu lagi. Tidak boleh. Tidak boleh. Jangan sampai itu terjadi. Kata para pria dengan terkejut.

Masyarakat –para tokoh yang berwibawa- tersenyum sambil memandang wanita muda itu. Masyarakat mungkin banyak yang masih buta huruf, tetapi mereka pandai. Masyarakat tidak membaca buku, tapi mereka arif bijaksana karena menyusun pengetahuan dalam kalbunya masing-masing. Dibimbing tetua adatnya.

Anak-anak muda itu boleh berbicara di dalam forum yang dihadiri para tokoh tua penuh kharisma. Para perempuan juga boleh berbicara.

Itu hanya karena perempuan muda itu datang. Bertamu selama 2 minggu. Perempuan muda itu mungkin bingung dan baru saja lulus dari universitas –tetapi dia tidak bodoh. Semua buku yang dibacanya di kampus tidak membekalinya dengan kebijakan. Tapi dia akan belajar bijak dalam situasi nyata yang menyentuh hati nuraninya.

Semua kepura-puraan itu membuatnya hanya tersenyum. Baiklah, apa saja yang harus kita bicarakan tentang kampung ini? Tanyanya.
***

Seorang pastor yang dihormati –berusia tidak setua para pemimpin kampung- dan tangannya selalu dicium setiap bertemu anak-anak maupun orang dewasa, bertanggung jawab atas kehadiran perempuan muda itu di wilayah pelayanannya. Beberapa orang muda di gerejanya yang akan bekerja untuk pelayanan masyarakat bersama perempuan muda itu akan membicarakan kerja kelompok dan pembuatan kebun ujicoba.

Petani muda membantu yang tua untuk menggambarkan sketsa kebunnya. Jenis tanaman. Jarak tanaman. Jumlah tanaman. Rumah kebun. Sumber air. Teknologi yang dipergunakan. Alat. Pengetahuan bertani.

Kehadiran perempuan muda itu menyenangkan masyarakat. Lelaki maupun perempuan. Karena dia suka melontarkan pertanyaan yang lucu.

Apa yang membuat Pak John mengganti tanaman tahun yang lalu? Kenapa kebun Pak John seperti itu? Para perempuan sangat ingin mendengarkan jawaban para lelaki. Mereka selama ini hanya bekerja di kebun dan apa pun yang terjadi dengan kebunnya adalah kemauan lelaki.

Mereka tertawa cekikikan karena pertanyaan perempuan muda itu membuat bibir para lelaki komat-kamit. Keningnya berkerut keras. Kata-kata sulit terucapkan untuk memberikan jawaban. Berdiskusi itu membutuhkan kesabaran yang lebih banyak ketimbang mengerjakan lahan yang semakin keras setiap selesai satu siklus masa tanam, tergerus erosi oleh air dan angin. Diskusi itu baku omong, kata perempuan muda itu.

Lelaki dan perempuan menyukai diskusi. Sungguh menyenangkan ketika mendengar orang lain berbicara. Sungguh menyenangkan bahwa dalam diskusi DILARANG merasa tersinggung bila pendapat orang lain berbeda. Pendapat perempuan sering berbeda dengan lelaki. Diskusi itu bagus. Betul, sehari-hari yang dilakukan adalah memerintah atau menjalankan perintah. Pemilik otoritas akan memerintah, seperti suami terhadap perempuan. Pemimpin kepada rakyatnya. Orang tua kepada anaknya.

Diskusi itu bagus, tapi hanya saat pertemuan kelompok. Bukan dalam keseharian. Karena adat menabukan pelanggaran. Tak ada diskusi tentang aturan adat.

Nimus, bantulah Pak John membuat sebuah gambar kebun impian. Kebun yang diimpikan seorang petani. Perempuan muda itu melanjutkan.

Para perempuan memprotes impian John. Istrinya memberi tahu apa yang dia inginkan di kebun. Pak John butuh waktu untuk bermimpi. Apalagi terlalu banyak gangguan dari para perempuan yang selalu ingin makanan yang cukup ditanam di kebun, sedangkan para lelaki ingin uang. Hasil kebun yang bisa dijual.

Pak John, dengarkan suara para perempuan. Bukankah lelaki ada di dunia ini untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya? Perempuan muda itu merayu para lelaki.

Semua menurut bagaikan terkena sihir.
***

Perempuan muda itu mendapatkan sebuah kain tebal yang hangat berwarna merah hati –seperti warna bibir yang mengunyah sirih bercampur tambakau- dengan kombinasi warna ungu –seperti warna bunga-bunga liar di padang rumput- dan warna hitam –seperti warna tanah yang menghitam setelah selesai pembakaran lahan untuk persiapan menanam.

Para perempuan menenun kain yang indah. Dan menghangatkan tubuh pada malam hari yang begitu dingin dan berangin. Mengeringkan kulit hingga mengelupas. Membuat pipi memerah sebelum menghitam.

Gelang-gelang kaki dengan lonceng membuat bunyi-bunyian yang menggetarkan sukma saat diguncang atau dihentakkan dalam sebuah tarian. Diiringi musik gendang dan gong yang menuntun gerak kerumunan penari perempuan itu.

Malam yang dingin menjadi hangat. Api unggun menyala-nyala. Nasi jagung yang dicampur dedaunan dan kacang-kacangan dan diberi garam, terasa lezat ketika disantap dengan secuil sambal yang pedas menyengat. Sambal mentah terbuat dari rawit-rawit kecil yang digerus dengan garam dan diaduk dengan irisan bawang merah. Potongan-potongan kecil daging sei –daging yang dikeringkan dengan asap- dibagikan ke setiap piring. Sepotong daging sebesar satu ruas jempol itu sungguh berharga.

Perempuan muda itu selalu makan dengan rasa lapar setiap hari –setelah seminggu tinggal di kampung itu. Setiap hari makanan sepiring itu menjadi sangat berharga. Setiap butir nasi, jagung, kacang, dan secuil daging itu tak ada yang tersisa.

Perempuan-perempuan di kampung itu suka sekali meraba kulitnya, rambutnya, tangan dan kakinya. Halus sekali, begitu kata mereka. Mereka tidak menonton TV, jadi jarang melihat dunia luar yang ada di TV. Jarang melihat manusia yang lain. Tempat ini tanpa listrik.

Pria-pria juga melihat padanya, wujud seorang perempuan yang berbeda dari perempuan di kampungnya. Perempuan yang berdiri di hadapan para lelaki –termasuk kalangan tua yang wibawanya menggentarkan masyarakat- sambil berbicara dan menatap langsung wajah yang diajak bicara. Tersenyum sehingga tak dapat dilakukan yang lain kecuali membalas senyuman dan kata-katanya.

Tempat asal perempuan itu Bandung, katanya. Tapi masyarakat lebih mudah mengingat kata Jawa. Perempuan dari Jawa, begitu kata mereka.

Wujud perempuan muda itu memberi kabar bagi masyarakat itu. Bahwa di suatu tempat, di luar sana, perempuan pergi ke universitas. Perempuan boleh bepergian ke suatu tempat yang jauh dan mungkin tak banyak yang tahu. Perempuan boleh memimpin sebuah pertemuan. Perempuan boleh tidak setuju kepada lelaki.

Tapi, tidak bisa seperti itu di kampung ini.

Setelah perempuan muda itu kembali ke tempat asalnya, perempuan dan lelaki di kampung itu masih akan menjalani kehidupannya yang biasa.

Adat tidak boleh dilanggar. Karma dan bencana akan menimpa bila dilanggar. Para perempuan yang sedang menstruasi dan melahirkan harus tetap diasingkan di rumah perempuan yang ada di tepi hutan. Perempuan harus mendengar apa yang dititah suaminya. Hidup ini terlalu keras untuk didiskusikan.
***

Di bawah sebuah pohon yang rindang –di tepi sebuah kebun- sekelompok perempuan duduk berbincang. Sekelompok laki-laki membentuk kelompoknya sendiri.

Perempuan dan lelaki berbagi tugas dalam mengerjakan kebun, bukan? Perempuan muda itu bertanya. Perempuan muda membagikan potongan-potongan kertas HVS bekas yang salah satu sisinya sudah terpakai. Sisi yang masih putih dari setiap kertas diberi simbol sebuah pekerjaan di kebun. Api untuk pembakaran lahan. Rumput untuk penanaman benih padi. Sabit untuk merawat tanaman dari gulma.

Siapa yang melakukan setiap pekerjaan di kebun dalam keluarga? Lelaki melakukan hal-hal yang besar. Perempuan melakukan hal-hal yang kecil dalam daftar yang panjang. Perempuan melakukan banyak hal.

Perempuan muda itu membuat daftar pekerjaan domestik. Memasak makanan. Mengurus anak-anak. Mengurus rumah. Menenun. Membuat baju. Memperbaiki baju yang sobek. Siapa yang melakukan setiap pekerjaan ini? Perempuan. Semua perempuan. Lelaki memiliki banyak jam untuk berbincang di lopo –balai adat- sambil makan sirih.

Perempuan muda itu membuat daftar lainnya. Acara-acara adat yang membutuhkan banyak kerja perempuan di dapur.

Seorang perempuan meneteskan air mata teringat betapa lelahnya hidupnya. Perempuan-perempuan lainnya menatap wajah perempuan muda itu dengan hati haru. Seseorang datang dan mengerti hati nurani perempuan yang dibebani tugas begitu banyak dan membutuhkan jam kerja begitu panjang tanpa istirahat. Tanpa libur.

Para lelaki memandang juga. Seorang lelaki muda memecahkan suasana dengan berkelakar. Kalian semua ikut saja ke Jawa.... Katanya.

Perempuan muda itu tersenyum. Mengambil kayu bakar dan air untuk memasak, bisakah pindah menjadi pekerjaan bapak-bapak? Tanyanya.

Seorang lelaki baik hati yang selalu hadir dalam diskusi kemudian menjawab dan membalas kelakar temannya: Baiklah, asal mama-mama yang memanjat pohon kelapa....

Semua tertawa. Perempuan yang menangis pun tertawa. Di bawah pohon yang rindang itu muncul perasaan yang lembut. Dari hati yang baik. Dari pikiran yang selalu bersedia belajar dari alam meskipun sering terkelabui oleh rasa takut dan gelisah karena kerasnya kehidupan yang disediakan oleh alam itu. Rasa takut yang mengubah pemikiran rasional menjadi irasional, dipenuhi keyakinan mistis untuk mengatur hidup. Menyusun doa-doa dan ritual pengorbanan untuk alam agar kemurkaannya tak membawa bencana. Menyusun daftar kewajiban dan dosa yang dibedakan antara perempuan dan lelaki agar harmoni kehidupan masyarakat bisa dijaga.
***

Pastor memperhatikan semua kegiatan dan proses yang berkembang selama perempuan muda dan pelayan-pelayan masyarakat yang juga masih muda-muda di gerejanya turun ke masyarakat.

Apakah kamu sekarang berani berbicara di hadapan forum masyarakat? Tanyanya kepada para calon pelayan masyarakat muda yang masih belum punya nyali melakukan tugas mendampingi masyarakat. Gentar dengan kerasnya adat dan keangkuhan para pemimpin-pemimpinnya. Beranilah, seperti nona yang datang dari jauh untuk mengajari kamu berbicara dengan masyarakatmu sendiri.... Kata pastor itu.

Saya orang asing pastor. Lebih sulit berbicara dengan masyarakat kita sendiri.... Perempuan muda itu berkata, tanpa maksud menentang ucapan sang pastor. Tetapi sungguh mengejutkan bila seseorang tidak menundukkan wajah kepada seorang pastor yang sedang bicara. Bahkan pemimpin adat pun mencium tangannya untuk mendapatkan berkah.

Pastor itu tersenyum. Kalau begitu, beranilah berkali-kali lipat daripada nona yang datang dari Bandung ini –yang tak tahu apa-apa tentang masyarakatmu tapi berusaha sangat keras untuk mempelajari dan bicara dengan cara masyarakat.... Berani dan belajar lebih keras. Kata pastor itu. Suaranya lembut dan pelan. Namun bergema dalam dada orang yang mendengarnya. Pator itu seorang keturunan Tionghoa yang sudah lebih 10 tahun memimpin gereja setempat.

Baiklah, Bapak. Saya akan berusaha keras sekali... Seorang pemuda calon pelayan masyarakat itu menjawab. Pemuda yang merasa nasihat pastor itu ditujukan kepadanya karena dia terlalu merasa kecut dalam menghadapi masyarakat.

Tak ada buku-buku yang ada di perpustakaan universitas –atau guru besar hebat- yang bisa mengajari perempuan muda dan para calon pelayan masyarakat itu bagaimana cara kerja perubahan sosial. Hati nurani akan membimbing cara kita bekerja dan berada di tengah masyarakat. Begitulah pelajaran yang diperoleh perempuan muda dan pelayan-pelayan masyarakat yang masih muda-muda itu.

Hati yang terpanggil. Hati yang baik untuk tidak menyakiti perasaan masyarakat saat menyampaikan ajaran kebaikan dan keadilan dari luar sana dengan tanpa merendahkan nilai-nilai setempat yang bertentangan. Itulah yang terpenting.
***


Note: Sebuah cerita fiksi yang terinspirasi kawan-kawan pekerja masyarakat yang penuh dedikasi di Timor. In memoriam Patris da Gomez dari Yayasan Tananua Timor.

Tidak ada komentar: